Thursday, July 03, 2008

PERAWAT KOMUNITAS SEBAGAI PERAWAT EDUKATOR DIABETES

Perawat memiliki peran kunci sebagai edukator dalam model PKPDM bagi lansia diabetisi (Diabetes Control and Complications Trial Research Group, 1993, 1995; Franz, Callahan, & Castle, 1994; Levetan, Salas, Wilets, & Zurnoff, 1995). Perawat edukator diabetes merupakan salah satu bidang spesialisasi keperawatan komunitas yang memiliki peran sebagai instruktur PKPDM. Tugas perawat edukator diabetes adalah (1) memberikan pendidikan kesehatan mengenai pengelolaan diabetes secara mandiri secara berkala, (2) intervensi perilaku, dan (3) konseling dan coaching pengelolaan diabetes secara mandiri (Mensing et al., 2007). Berdasarkan hal tersebut penulis memberikan batasan pengertian perawat komunitas sebagai perawat edukator diabetes, yaitu praktik profesi sebagai sintesis dari ilmu keperawatan, kesehatan masyarakat (Hitchcock, Schubert & Thomas, 1999), dan sosial (Helvie, 1998; Ervin, 2002) yang diterapkan untuk meningkatkan dan memelihara kesehatan diabetisi secara menyeluruh (Helvie, 1998; Ervin, 2002).

Perawat komunitas sebagai edukator diabetes memiliki dua tingkat, yaitu perawat generalis dan perawat spesialis. Helvie (1998) berpendapat bahwa perawat generalis memiliki latar belakang pendidikan S1 dengan batasan kompetensi pada asuhan keperawatan diabetisi di tingkat individu dan keluarga. Sedangkan menurut Ervin (2002), batasan kompetensi perawat generalis pada asuhan keperawatan diabetisi di tingkat individu, keluarga, kelompok dan ketrampilan dasar menangani agregat diabetisi. Helvie dan Ervin sepakat bahwa perawat spesialis dengan latar belakang pendidikan master (S2) dan doktoral (S3) harus memiliki kompetensi klinis dan mengelola agregat diabetisi dari tingkat individu sampai dengan populasi. Seorang spesialis keperawatan komunitas harus mampu melakukan perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi program serta pelayanan kesehatan bagi agregat diabetisi di tingkat populasi.

Karakteristik keperawatan komunitas sebagai perawat edukator diabetes

Keperawatan komunitas dalam konteks asuhan keperawatan pada agregat lansia diabetisi memiliki beberapa karakteristik, yaitu: (1) berfokus pada populasi lansia baik yang sehat maupun yang berisiko menderita DM; (2) berorientasi pada peningkatan peran serta aktif lansia dalam pengelolaan DM secara mandiri; (3) berfokus pada upaya promotif dan preventif baik pencegahan primer, sekunder dan tersier; (4) intervensi pendidikan kesehatan dalam pengelolaan diabetes secara mandiri (PKPDM) di tingkat komunitas atau populasi; dan (5) memiliki perhatian terhadap peningkatan derajat kesehatan pada semua kelompok umur terutama kelompok berisiko DM (Stanhope & Lancaster, 2004). Selanjutnya spesialis keperawatan komunitas memiliki enam area pokok praktik keperawatan dalam pendekatan PKPDM, yaitu: (1) upaya promosi kesehatan melalui gaya hidup sehat; (2) upaya pencegahan primer, sekunder dan tersier pada agregat diabetisi; (3) intervensi keperawatan lansia diabetisi; (4) rehabilitasi lansia diabetisi dengan permasalahan khusus, misalnya pasca hospitalisasi atau penurunan kapasitas fungsional; (5) evaluasi program PKPDM di tingkat populasi; dan (6) riset keperawatan tentang lansia diabetisi (Allender & Spradley, 2005).

Strategi Intervensi dan Pengorganisasian Masyarakat

Strategi intervensi keperawatan komunitas dalam pendekatan PKPDM adalah (1) kemitraan (partnership), (2) pemberdayaan (empowerment), (3) pendidikan kesehatan, dan (4) proses kelompok (Hitchcock, Schubert, & Thomas 1999; Helvie, 1998). Strategi intervensi pendidikan kesehatan dalam pengelolaan diabetes secara mandiri juga diuraikan pada bagian berikut:

Pertama, kemitraan memiliki definisi hubungan atau kerja sama antara dua pihak atau lebih, berdasarkan kesetaraan, keterbukaan dan saling menguntungkan atau memberikan manfaat (Depkes RI, 2005). Perawat spesialis komunitas perlu membangun dukungan, kolaborasi, dan koalisi sebagai suatu mekanisme peningkatan peran serta aktif masyarakat dalam perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, dan evaluasi implementasi PKPDM. Anderson dan McFarlane (2000) dalam hal ini mengembangkan model keperawatan komunitas yang memandang masyarakat sebagai mitra (community as partner model). Fokus dalam model tersebut menggambarkan dua prinsip pendekatan utama keperawatan komunitas, yaitu (1) lingkaran pengkajian masyarakat pada puncak model yang menekankan anggota masyarakat sebagai pelaku utama pembangunan kesehatan, dan (2) proses keperawatan.

Asumsi dasar mekanisme kolaborasi perawat spesialis komunitas dengan masyarakat tersebut adalah hubungan kemitraan yang dibangun memiliki dua manfaat sekaligus yaitu meningkatnya partisipasi aktif masyarakat dan keberhasilan program kesehatan masyarakat (Kreuter, Lezin, & Young, 2000). Mengikutsertakan masyarakat dan partisipasi aktif mereka dalam pembangunan kesehatan dapat meningkatkan dukungan dan penerimaan terhadap kolaborasi profesi kesehatan dengan masyarakat (Schlaff, 1991; Sienkiewicz, 2004). Dukungan dan penerimaan tersebut dapat diwujudkan dengan meningkatnya sumber daya masyarakat yang dapat dimanfaatkan, meningkatnya kredibilitas program kesehatan, serta keberlanjutan kemitraan perawat spesialis komunitas dengan masyarakat (Bracht, 1990).

Kemitraan dalam PKPDM dapat dilakukan perawat komunitas melalui upaya membangun dan membina jejaring kemitraan dengan pihak-pihak yang terkait (Robinson, 2005) dalam upaya penanganan DM pada lansia diabetisi baik di level keluarga, kelompok, maupun komunitas. Pihak-pihak tersebut adalah profesi kesehatan lainnya, stakes holder (Puskesmas, Dinas Kesehatan Kota, Departemen Kesehatan, Departemen Sosial, Pemerintah Kota), donatur/sponsor, sektor terkait, organisasi masyarakat (TP-PKK, Lembaga Lansia Indonesia/LLI, Perkumpulan Diabetisi, atau Klub Jantung Sehat Yayasan Jantung Indonesia), dan tokoh masyarakat setempat.

Kedua, konsep pemberdayaan dapat dimaknai secara sederhana sebagai proses pemberian kekuatan atau dorongan sehingga membentuk interaksi transformatif kepada masyarakat, antara lain: adanya dukungan, pemberdayaan, kekuatan ide baru, dan kekuatan mandiri untuk membentuk pengetahuan baru (Hitchcock, Scubert, & Thomas, 1999). Pemberdayaan, kemitraan dan partisipasi memiliki inter-relasi yang kuat dan mendasar. Perawat spesialis komunitas ketika menjalin suatu kemitraan dengan masyarakat maka dirinya juga harus memberikan dorongan kepada masyarakat. Kemitraan yang dijalin memiliki prinsip “bekerja bersama” dengan masyarakat bukan “bekerja untuk” masyarakat, oleh karena itu perawat spesialis komunitas perlu memberikan dorongan atau pemberdayaan kepada masyarakat agar muncul partisipasi aktif masyarakat (Yoo et. al, 2004). Membangun kesehatan masyarakat tidak terlepas dari upaya-upaya untuk meningkatkan kapasitas, kepemimpinan dan partisipasi masyarakat (Nies & McEwan, 2001).

Kemandirian agregat lansia diabetisi dalam PKPDM berkembang melalui proses pemberdayaan. Tahapan pemberdayaan yang dapat dilalui oleh agregat lansia diabetisi (Sulistiyani, 2004), yaitu:
  1. Tahap penyadaran dan pembentukan perilaku menuju perilaku sadar dan peduli sehingga merasa membutuhkan kemampuan dalam mengelola DM secara mandiri. Dalam tahap ini, perawat komunitas berusaha mengkondisikan lingkungan yang kondusif bagi efektifitas proses pemberdayaan agregat lansia diabetisi.
  2. Tahap transformasi kemampuan berupa pengetahuan dan ketrampilan dalam pengelolaan DM secara mandiri agar dapat mengambil peran aktif dalam lingkungannya. Pada tahap ini agregat lansia diabetisi memerlukan pendampingan perawat komunitas.
  3. Tahap peningkatan pengetahuan dan ketrampilan sehingga terbentuk inisiatif dan kemampuan inovatif untuk mengantarkan pada kemandirian mengelola DM. Pada tahap ini lansia diabetisi dapat melakukan apa yang diajarkan secara mandiri.

Ketiga, strategi utama upaya prevensi terhadap kejadian DM adalah dilakukannya kegiatan pendidikan kesehatan. Pendidikan kesehatan bertujuan untuk meningkatkan derajat kesehatan dan mengurangi disabilitas serta mengaktualisasikan potensi kesehatan yang dimiliki oleh individu, keluarga, kelompok, dan masyarakat (Swanson & Nies, 1997). Pendidikan kesehatan dapat dikatakan efektif apabila dapat menghasilkan perubahan pengetahuan, menyempurnakan sikap, meningkatkan ketrampilan, dan bahkan mempengaruhi perubahan di dalam perilaku atau gaya hidup individu, keluarga, dan kelompok lansia diabetisi (Pender, Murdaugh, & Parsons, 2002). Pendidikan kesehatan diharapkan dapat mengubah perilaku lansia diabetisi untuk patuh terhadap saran pengelolaan DM secara mandiri.

Pendidikan kesehatan dapat dilakukan secara individu, kelompok, maupun komunitas. Upaya pendidikan kesehatan di tingkat komunitas penting dilakukan dengan beberapa alasan, yaitu: individu akan mudah mengadopsi perilaku sehat apabila mendapatkan dukungan sosial dari lingkungannya terutama dukungan keluarga, intervensi di tingkat komunitas dapat mengubah struktur sosial yang kondusif terhadap program promosi kesehatan, unsur-unsur di dalam komunitas dapat membentuk sinergi dalam upaya promosi kesehatan (Meillier, Lund, & Kok, 1996).

Intervensi keperawatan melalui pendidikan kesehatan untuk menurunkan risiko DM dan komplikasinya dapat dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu: (1) pencegahan primer, (2) pencegahan sekunder, dan (3) pencegahan tersier. Pendidikan kesehatan dalam tahap pencegahan primer bertujuan untuk menurunkan risiko yang dapat mengakibatkan DM. Pendidikan kesehatan dalam tahap pencegahan sekunder bertujuan untuk memotivasi kelompok berisiko melakukan uji skrining dan penatalaksanaan gejala DM yang muncul, sedangkan pada tahap pencegahan tersier, perawat dapat memberikan pendidikan kesehatan yang bersifat readaptasi, pendidikan kesehatan untuk mencegah komplikasi DM terulang dan memelihara stabilitas kesehatan lansia.

Keempat, proses kelompok merupakan salah satu strategi intervensi keperawatan yang dilakukan bersama-sama dengan masyarakat melalui pembentukan sebuah kelompok atau kelompok swabantu (self-help group). Intervensi keperawatan di dalam tatanan komunitas menjadi lebih efektif dan mempunyai kekuatan untuk melaksanakan perubahan pada individu, keluarga dan komunitas apabila perawat komunitas bekerja bersama dengan masyarakat. Berbagai kelompok di masyarakat dapat dikembangkan sesuai dengan inisiatif dan kebutuhan masyarakat setempat, misalnya Posbindu, Bina Keluarga Lansia, atau Karang Lansia. Kegiatan pada kelompok ini disesuaikan dengan kebutuhan dan tujuan yang ingin dicapai oleh lansia agar lansia dapat mencapai masa tua yang sehat, bahagia, berdaya guna, dan produktif selama mungkin (Depkes RI, 1992).

Menurut penelitian, lansia yang mengikuti secara aktif sebuah kelompok sosial dan menerima dukungan dari kelompok tersebut akan memperlihatkan kondisi kesehatan fisik dan mental yang lebih baik daripada lansia yang lebih sedikit mendapatkan dukungan kelompok (Krause, 1997). Bentuk dukungan kelompok ini juga terkait dengan rendahnya risiko morbiditas dan mortalitas lansia (Berkman, Leo-Summers, & Horwitz, 1992). Meskipun penjelasan risiko morbiditas dan mortalitas tersebut tidak lengkap dikemukakan, beberapa laporan menekankan bahwa dukungan yang diterima lansia dapat meningkatkan pemanfaatan dan kepatuhan individu terhadap pelayanan yang diinginkan dengan mengikuti informasi yang diberikan, ikut serta dalam kelompok dan meningkatkan perilaku mencari bantuan kesehatan (Cohen, 1988).
Berdasarkan strategi intervensi yang telah ditentukan oleh perawat komunitas seperti tersebut di atas, selanjutnya dilakukan pengorganisasian masyarakat. Pengorganisasian masyarakat sebagai suatu proses merupakan sebuah perangkat perubahan komunitas yang memberdayakan individu dan kelompok berisiko (agregat) dalam menyelesaikan masalah komunitas dan mencapai tujuan yang diinginkan bersama. Menurut Helvie (1998), terdapat tiga model pengorganisasian masyarakat yaitu (1) model pengembangan masyarakat (locality development), (2) model perencanaan sosial (social planning), dan (3) model aksi sosial (social action).

Model pengembangan masyarakat didasarkan pada upaya untuk memaksimalkan perubahan yang terjadi di komunitas, di mana masyarakat dilibatkan dan berpartisipasi aktif dalam menentukan tujuan dan pelaksanaan tindakan. Tujuan dari model pengembangan masyarakat adalah (1) agar individu dan kelompok-kelompok di masyarakat dapat berperan-serta aktif dalam setiap tahapan proses keperawatan, dan (2) perubahan perilaku (pengetahuan, sikap dan tindakan) dan kemandirian masyarakat yang dibutuhkan dalam upaya peningkatan, perlindungan dan pemulihan status kesehatannya di masa mendatang (Nies & McEwan, 2001; Green & Kreuter, 1991). Sejalan dengan Mapanga dan Mapanga (2004) tujuan dari proses keperawatan komunitas pada lansia diabetisi adalah meningkatkan kemampuan dan kemandirian fungsional agregat lansia diabetisi melalui pengembangan kognisi dan kemampuan merawat dirinya sendiri. Pengembangan kognisi dan kemampuan agregat lansia diabetisi difokuskan pada dayaguna aktifitas kehidupan, pencapaian tujuan, perawatan mandiri, dan adaptasi lansia diabetisi terhadap permasalahan kesehatan sehingga akan berdampak pada peningkatan partisipasi aktif lansia diabetisi.

Model perencanaan sosial dalam pengelolaan agregat lansia diabetisi lebih menekankan pada teknik menyelesaikan masalah kesehatan agregat lansia diabetisi dari pengelola program lansia di birokrasi, misalnya Dinas Kesehatan atau Puskesmas. Kegiatan bersifat kegiatan top-down planning. Tugas perencana program kesehatan lansia adalah menetapkan tujuan kegiatan, menyusun rencana kegiatan, dan mensosialisasikan rencana tindakan kepada masyarakat. Perencana program harus memiliki kemampuan dan ketrampilan untuk menyelesaikan permasalahan yang kompleks termasuk kemampuan untuk mengorganisasikan lintas sektor terkait.

Model aksi sosial menekankan pada pengorganisasian masyarakat untuk memperjuangkan isu-isu tertentu terkait dengan permasalahan yang sedang dihadapi agregat lansia diabetisi, misalnya kampanye gaya hidup sehat untuk mencegah penyakit diabetes.

Tingkat dan bentuk intervensi keperawatan komunitas

a. Tingkat pencegahan intervensi keperawatan meliputi:

  1. Prevensi primer ditujukan bagi orang-orang yang termasuk kelompok risiko tinggi, yakni mereka yang belum menderita tetapi berpotensi untuk menderita DM. Perawat komunitas harus mengenalkan faktor-faktor yang berpengaruh terhadap timbulnya DM dan upaya yang perlu dilakukan untuk menghilangkan faktor-faktor tersebut. Sejak masa prasekolah hendaknya telah ditanamkan pengertian tentang pentingnya latihan jasmani teratur, pola dan jenis makanan yang sehat, menjaga badan agar tidak terlalu gemuk, dan risiko merokok bagi kesehatan.
  2. Prevensi sekunder bertujuan untuk mencegah atau menghambat timbulnya penyulit dengan tindakan deteksi dini dan memberikan intervensi keperawatan sejak awal penyakit. Dalam mengelola lansia diabetisi, sejak awal sudah harus diwaspadai dan sedapat mungkin dicegah kemungkinan terjadinya penyulit menahun. Penyuluhan mengenai DM dan pengelolaannya secara mandiri memegang peran penting untuk meningkatkan kepatuhan pasien. Sistem rujukan yang baik akan sangat mendukung pelayanan kesehatan primer yang merupakan ujung tombak pengelolaan DM.
  3. Prevensi tersier. Apabila sudah muncul penyulit menahun DM, maka perawat komunitas harus berusaha mencegah terjadinya kecacatan/komplikasi lebih lanjut dan merehabilitasi pasien sedini mungkin, sebelum kecacatan tersebut menetap. Pendidikan kesehatan bertujuan untuk melindungi upaya rekonstitusi lansia diabetisi, yaitu: mendorong lansia untuk patuh mengikuti program PKPDM, pendidikan kesehatan kepada lansia dan keluarga untuk mencegah hipoglikemi terulang dan melihara stabilitas klien (Allender & Spradley, 2005).

b. Bentuk intervensi keperawatan yang dapat dilakukan oleh perawat komunitas terdiri dari:

  1. Observasi. Observasi diperlukan dalam pelaksanaan keperawatan lansia diabetisi. Observasi dilakukan sejak pengkajian awal dilakukan dan merupakan proses yang terus menerus selama melakukan kunjungan (Hitchcock, Schubert & Thomas, 1999). Lingkungan lansia diabetisi yang perlu diobservasi yaitu keadaan lansia diabetisi, kondisi rumah, interaksi antar keluarga, tetangga dan komunitas. Observasi diperlukan untuk menyusun dan mengidentifikasi permasalahan yang terjadi pada lansia diabetisi.
  2. Terapi modalitas. Terapi modalitas adalah suatu sarana penyembuhan yang diterapkan pada lansia diabetisi dengan tanpa disadari dapat menimbulkan respons tubuh berupa energi sehingga mendapatkan efek penyembuhan (Starkey, 2004). Terapi modalitas yang diterapkan pada lansia diabetisi, yaitu: manajemen nyeri, perawatan gangren, perawatan luka baru, perawatan luka kronis, latihan peregangan, range of motion, dan terapi hiperbarik.
  3. Terapi komplementer (complementary and alternative medicine/CAM). Terapi komplementer adalah penyembuhan alternatif untuk melengkapi atau memperkuat pengobatan konvensional maupun biomedis (Cushman & Hoffman, 2004; Xu, 2004) agar bisa mempercepat proses penyembuhan. Pengobatan konvensional (kedokteran) lebih mengutamakan penanganan gejala penyakit, sedangkan pengobatan alami (komplementer) menangani penyebab penyakit serta memacu tubuh sendiri untuk menyembuhkan penyakit yang diderita (Sustrani, Alam & Hadibroto, 2005).
Ranah terapi komplementer dan bentuk-bentuk terapi komplementer untuk lansia diabetisi (Cushman & Hoffman, 2004):
  1. Pengobatan alternative : Terapi herbal, akupunktur, pengobatan herbal Cina
  2. Intervensi tubuh dan pikiran : Meditasi, hipnosis, terapi perilaku, relaksasi Benson, relaksasi progresif, guided imagery, pengobatan mental dan spiritual
  3. Terapi bersumber bahan organik : Terapi diet DM, terapi jus, pengobatan orthomolekuler (terapi megavitamin), bee pollen, terapi lintah, terapi larva
  4. Terapi pijat, terapi gerakan somatis, dan fungsi kerja tubuh : Pijat refleksi, akupresur, perawatan kaki, latihan kaki, senam
  5. Terapi energi : Qigong, reiki, terapi sentuh, latihan seni pernafasan tenaga dalam, Tai Chi
  6. Bioelektromagnetik : Terapi magnet
Bentuk intervensi terapi modalitas dan komplementer memerlukan kajian dan pengembangan yang disesuaikan dengan peran dan fungsi perawat, terutama pada agregat lansia diabetisi.

Peran dan Fungsi Perawat Komunitas

Perawat komunitas memiliki peran dan fungsi (Hitchcock, Schubert & Thomas, 1999; Alllender & Spradley, 2005), sebagai berikut :
  1. Advokat. Advokasi pada lansia diabetisi bertujuan untuk membantu lansia agar dapat mengelola DM secara mandiri. Peran advokasi, yaitu: selaku penasehat bagi individu, keluarga dan kelompok lansia diabetisi, memberikan informasi mengenai layanan kesehatan bagi diabetisi, dan mengupayakan sistem pelayanan kesehatan yang responsif terhadap kebutuhan lansia diabetisi.
  2. Kolaborator. Perawat komunitas bekerjasama dengan berbagai profesi kesehatan (dokter, ahli gizi, fisioterapis, dokter gigi), organisasi yang berada di komunitas (TP-PKK, posbindu, LLI, Perkumpulan Diabetisi, atau Klub Jantung Sehat Yayasan Jantung Indonesia), sekolah, dan pemerintah (Dinas Kesehatan, Dinas Sosial).
  3. Konsultan. Perawat komunitas berlaku sebagai konsultan bagi individu, keluarga, dan kelompok lansia diabetisi.
  4. Pelaksana. Perawat komunitas juga memberikan intervensi keperawatan langsung kepada lansia diabetisi sebagai individu, keluarga, kelompok dan populasi.
  5. Konselor. Perawat komunitas melakukan konseling untuk membantu lansia diabetisi dalam memilih penyelesaian masalah yang sedang dihadapi.
  6. Pendidik. Perawat komunitas memberikan pendidikan kesehatan baik pada tingkat prevensi primer, sekunder maupun tersier agar lansia diabetisi dapat mengelola DM secara mandiri.
  7. Peneliti. Perawat komunitas berperan sebagai peneliti. Riset keperawatan dilakukan untuk memperkuat dasar-dasar keilmuan dalam kegiatan praktik klinik, pendidikan, dan menejemen keperawatan pada agregat lansia diabetisi (Ross, Mackenzie, & Smith, 2003). Sedangkan praktik keperawatan yang berdasarkan fakta empiris (evidence based nursing) bertujuan untuk memberikan cara menurut fakta terbaik dari riset yang diaplikasikan secara hati-hati dan bijaksana dalam tindakan preventif, pendeteksian, maupun asuhan keperawatan bagi agregat lansia diabetisi (Cullum, 2001). Penerapan hasil penelitian dalam intervensi keperawatan komunitas pada agregat lansia diabetisi bermanfaat untuk memperbaiki pelayanan kesehatan yang berorientasi pada efektifitas pembiayaan (cost effectiveness).
  8. Case manager. Perawat komunitas dalam mengelola program PKPDM menggunakan pendekatan manajemen kasus. Perawat komunitas melaksanakan lima tahapan dalam pengambilan keputusan, yaitu: pengkajian, perencanaan, mengadakan kerjasama (merujuk, koordinasi dan advokasi), memonitoring dan melakukan evaluasi.

Baca selengkapnya...

Sunday, June 22, 2008

Perawatan Restoratif Untuk Mencegah Gagal-Pulih Pada Lanjut Usia di Masyarakat

PENDAHULUAN

Penuaan adalah suatu proses akumulasi dari kerusakan sel somatik yang diawali oleh adanya disfungsi sel hingga terjadi disfungsi organ dan pada akhirnya akan meningkatkan risiko kematian bagi seseorang. Apabila dilihat dari sudut pandang yang lebih luas, proses penuaan merupakan suatu perubahan progresif pada organisme yang telah mencapai kematangan intrinsik dan bersifat irreversibel serta menunjukkan adanya kemunduran sejalan dengan waktu. Corak perkembangan proses penuaan bersifat lambat namun dinamis dan bersifat individual baik secara fisiologis maupun patologis, karena banyak dipengaruhi oleh riwayat maupun pengalaman hidup di masa lalu yang terkait dengan faktor biologis, psikologis, spiritual, fungsional, lingkungan fisik dan sosial. Perubahan struktur dan penurunan fungsi sistem tubuh tersebut diyakini memberikan dampak yang signifikan terhadap gangguan homeostasis sehingga lanjut usia mudah menderita penyakit yang terkait dengan usia --misalnya: stroke, Parkinson, dan osteoporosis-- dan berakhir pada kematian. Penuaan patologis dapat menyebabkan disabilitas pada lanjut usia sebagai akibat dari trauma, penyakit kronis, atau perubahan degeneratif yang timbul karena stres yang dialami oleh individu. Stres tersebut dapat mempercepat penuaan dalam waktu tertentu, selanjutnya dapat terjadi akselerasi proses degenerasi pada lanjut usia apabila menimbulkan penyakit fisik.

Proses penuaan terjadi secara linier dan dapat digambarkan melalui tiga tahap, yaitu: (1) kelemahan (impairment), (2) ketidakmampuan (disability), dan (3) kecacatan (handicap) yang akan dialami bersamaan dengan munculnya sindroma gagal-pulih (frailty). Proses gagal-pulih sejalan dengan adanya penurunan kapasitas fungsional yang dapat berkembang menjadi masalah kesehatan serius apabila aksesibilitas dan utilitas skrining kesehatan bagi lanjut usia masih tetap rendah. Gagal-pulih pada lanjut usia merupakan akibat dari bertambahnya umur seseorang dan proses kemunduran yang diikuti dengan munculnya gangguan fisiologis, penurunan fungsi, gangguan kognitif, gangguan afektif, dan gangguan psikososial. Kondisi tersebut dapat mengganggu lanjut usia dalam memenuhi kebutuhan aktivitas sehari-harinya. Lanjut usia yang mengalami gangguan mood akan mengakibatkan kesulitan dalam memenuhi aktivitas kehidupan sehari-harinya (AKS) atau activities of daily living (ADL). Sebaliknya, keterbatasan dalam memenuhi AKS dapat menjadi salah satu faktor penyebab munculnya depresi pada lanjut usia.

Penelitian di Thailand memperlihatkan bahwa prevalensi disabilitas pada lanjut usia sebesar 19% (95%IK 17,8–20,2) dan ketergantungan terhadap pemenuhan AKS sebesar 6,9% (95%IK 6,1 – 7,7). Angka ketidakmampuan (disabilities rate) meningkat sesuai dengan perkembangan usia. Kapasitas fungsional wanita lebih rendah bila dibandingkan pria atau prevalensi kebutuhan untuk mendapatkan bantuan AKS pada wanita selama 21,3 tahun dan pria selama 18,6 tahun. Meskipun informasi mengenai angka penurunan kapasitas fungsional lanjut usia di Indonesia belum memadai, namun Palestin, Olfah dan Winarso (2005) melaporkan 77,4% lanjut usia di sebuah Panti Wredha sebelum diintervensi masih dibantu sebagian dalam memenuhi AKS-nya.

Para ahli telah sepakat menggunakan parameter AKS untuk mengukur kapasitas fungsional seseorang dengan mengklasifikasikannya berdasarkan kepemilikan ketergantungan dalam beraktivitas sehari-hari, misalnya : mandi, memakai baju, berjalan, kebersihan diri, mobilisasi. Kapasitas fungsional merupakan kondisi kesehatan fisik yang sangat penting bagi kualitas hidup dan kesejahteraan lanjut usia. Adanya penurunan kapasitas fungsional dipengaruhi oleh berjalannya proses penuaan, multi penyakit , dan gangguan psikososial. Kondisi di atas juga dapat terjadi secara berangsur-angsur sebagai akibat dari anggota ekstrimitas tidak difungsikan atau tidak dilatih secara optimal.

Intervensi kesehatan dan keperawatan dalam bentuk latihan fungsional serta dukungan lingkungan yang positif bagi lanjut usia dapat memelihara kapasitas fungsional dan kualitas hidup lanjut usia. Latihan fungsional dengan intensitas sedang dapat meningkatkan kualitas hidup, vitalitas, dan menurunkan gejala depresi pada lanjut usia secara efektif. Menurut penelitian, program latihan berjalan, mobilitas, dan keseimbangan fleksibel dan statis selama enam minggu dapat meningkatkan kapasitas fungsional lanjut usia. Bentuk program latihan yang memiliki daya ungkit cukup besar terhadap penurunan sindroma gagal-pulih pada lanjut usia adalah perawatan restoratif. Perawatan restoratif merupakan salah satu strategi utama dalam mengatasi sindroma gagal-pulih untuk meningkatkan luaran status kesehatan klien, dan merupakan bentuk intervensi keperawatan yang paling efektif saat ini untuk meningkatkan otonomi dan kemandirian klien.

Sindroma gagal-pulih

Sindroma gagal-pulih adalah suatu kondisi tubuh sebagai akibat dari menurunnya kapasitas multisistem yang berisiko tinggi terhadap timbulnya berbagai penyakit, trauma atau kondisi kesehatan negatif lainnya namun kondisi tersebut dapat dicegah melalui intervensi tertentu. Contoh bentuk gagal-pulih, antara lain: perawatan diri yang tidak terpelihara karena kelemahan dan keletihan (fatigue) atau seseorang yang sering jatuh karena gaya berjalan yang tidak seimbang atau kelemahan. Gejala-gejala sindroma gagal-pulih, antara lain: (1) penurunan berat badan secara progresif, (2) kecepatan berjalan melambat, (3) kekuatan cengke-raman tangan menurun, (4) keletihan atau daya tahan menurun, dan (5) tingkat aktivitas fisik yang rendah. Apabila seseorang menunjukkan tiga gejala atau lebih disebut “gagal-pulih”, apabila hanya menunjukkan satu atau dua gejala disebut “pregagal-pulih”, sedangkan tidak menujukkan gejala apapun disebut “tak gagal-pulih”. Ketiga level tersebut tergantung pada usia, kondisi penyakit kronis, fungsi kognitif, dan gejala depresif.

PERAWATAN RESTORATIF

Sindroma gagal-pulih dianggap sebagai prediktor kejadian jatuh, hospitalisasi, disabilitas yang memburuk dan kematian pada lanjut usia.14 Deteksi dini dan intervensi prevensi primer untuk mengatasi gejala yang timbul dapat mencegah atau menunda timbulnya gagal-pulih. Bentuk intervensi tersebut adalah metode perawatan restoratif atau perawatan pemulihan (restorative care). Perawatan restoratif merupakan bentuk intervensi keperawatan yang berfokus pada upaya membantu lanjut usia dalam proses pemulihan dan atau pemeliharaan kapasitas fungsional fisiknya serta memberikan bantuan agar lanjut usia dapat mengkompensasikan kemunduran fungsional fisiknya sehingga mampu mencapai derajat fungsional yang optimal dan mampu melakukan AKS secara mandiri, misalnya : mandi, memakai baju, berjalan, dan kegiatan lainnya. Perawatan restoratif sebenarnya telah dikembangkan di era 1950-an, namun mulai diperbincangkan kembali dalam praktik keperawatan di Amerika Serikat pada tahun 1998 untuk mengkalkulasi standar pembayaran jasa pelayanan keperawatan pada program pemulihan pasien di rumah sakit maupun institusi pelayanan keperawatan lainnya. Perawatan restoratif bukanlah terapi yang bertujuan untuk mengurangi keterbatasan atau kecacatan (limitation) lanjut usia, meskipun hasil dari upaya pemulihan kapasitas tidak sepenuhnya sama seperti kondisi sediakala.


Perawatan restoratif menitikberatkan pada upaya preventif terhadap meluasnya dampak ketergantungan fisik, menurunnya aktivitas dan keterbatasan mobilitas. Oleh karena itu, perawatan restoratif digunakan untuk memaksimalkan kemampuan lanjut usia (ability) melalui peningkatan mekanisme self-care, kemandirian, kualitas hidup, gambaran diri (self-image) dan harga diri (self-esteem). Menurut Resnick (2004), terminologi perawatan restoratif berbeda dengan perawatan rehabilitasi (rehabilitation nursing). Perawatan rehabilitasi lebih berfokus pada upaya rehabilitasi seseorang sebagai akibat dari terjadinya penyakit atau cedera, misalnya: strok, fraktur panggul, atau dislokasi sendi. Tujuan yang ingin dicapai melalui rehabilitasi ditetapkan bersama oleh tim rehabilitasi yang terdiri dari banyak profesi (misalnya: dokter, perawat, psikolog, dokter gigi, fisioterapis, okupasiterapis, prostetik dan ortetik, terapis wicara, dan ahli gizi), namun target hasil intervensi sangat erat kaitannya dengan indikator medis.


Aplikasi perawatan restoratif merupakan intervensi keperawatan yang bertujuan untuk meningkatkan kapasitas fungsional dengan jalan melatih klien melakukan AKS secara mandiri dan terstruktur. Berbagai studi intervensi yang bertujuan untuk meningkatkan AKS memperlihatkan bahwa penurunan kapasitas fungsional lanjut usia dapat distabilkan atau dikurangi meskipun tidak dapat pulih seperti sediakala. Hasil pemulihan kapasitas fungsional lanjut usia tergantung dari pola dan jenis intervensi perawatannya, oleh karenanya perlu diberikan jenis intervensi yang spesifik dan efektif sesuai dengan permasalahannya.


Kelebihan perawatan restoratif adalah metode ini memiliki teknik yang sederhana dan mudah dilakukan oleh siapapun. Sehingga perawatan restoratif dapat dilakukan oleh asisten perawat, keluarga atau orang-orang terdekat klien yang telah dilatih namun tetap dalam pengawasan perawat. Sebuah penelitian telah mengkomparasikan manfaat model perawatan restoratif yang diberikan secara individu dengan pendekatan keperawatan pada umumnya. Penelitian tersebut menunjukkan bahwa perawatan restoratif memiliki kemungkinan lanjut usia untuk tetap tinggal di rumah lebih besar (82% vs 71%; odds ratio [OR]= 1,99; 95%CI = 1,47-2,69), menurunkan kemungkinan dirujuk ke unit gawat darurat (10% vs 20%; OR = 0,44; 95% CI = 0,32-0,61), lama perawatan di rumah lebih pendek (mean [SD]= 24,8 [26,8] hari vs 34,3 [44,2] hari; p < p =" 0,07" p =" 0,05" p =" 0,02">


Perawatan restoratif memiliki manfaat yang lebih besar terhadap luaran kapasitas fisik dan psikologis lanjut usia dibandingkan dengan intervensi keperawatan yang konservatif. Menurut laporan Sacre, implementasi perawatan restoratif telah meningkatkan kapasitas fungsional terhadap 86% lanjut usia yang dirawat di panti jompo pada dua minggu pertama perawatan mereka. Tujuan utama perawatan restoratif, adalah : (1) meningkatkan mobilitas fisik yang optimal, (2) meningkatkan atau menjaga kekuatan dan koordinasi otot, (3) meningkatkan pengawasan diri, (4) mencegah kontraktur, (5) meningkatkan kemandirian AKS atau perawatan diri, (6) mencegah terjadinya cedera, (7) meningkatkan aktivitas sosial, (8) meningkatkan kepekaan terhadap pencapaian prestasi (sense of accomplishment), (9) mencegah isolasi sosial dan depresi, (10) meningkatkan kemampuan motorik, (11) meningkatkan kemampuan berkomunikasi, (12) meningkatkan kesempatan untuk melakukan aktivitas yang berarti, (13) meningkatkan martabat dan peran sosial, dan (14) meningkatkan moralitas dan kepuasan dalam bekerja.


Beberapa hal yang perlu diperhatikan oleh perawat di saat memberikan perawatan restoratif, adalah : (1) pahami bahwa setiap lanjut usia memiliki keunikan kapasitas dan keterbatasan fisik, kaji kapasitas dalam merawat diri, status mental, motivasi, dan dukungan keluarga; (2) prioritas intervensi lebih difokuskan pada kapasitas yang telah dimiliki atau yang lebih mudah untuk dipulihkan; (3) sesuaikan waktu latihan dengan kebiasaan lanjut usia; (4) berikan penghargaan/pujian apabila lanjut usia mampu melakukan latihan dengan lebih baik; (5) pemberian latihan sesuaikan dengan kondisi penyebab gagal-pulih, apakah disebabkan disabilitas fisik atau disabilitas mental; (6) hindarkan adanya komplikasi atau hal-hal yang berisiko, misalnya cedera, isolasi social, depresi); (7) dorong optimisme dengan harapan yang lebih baik dan rasa humor; dan (8) upaya pemulihan sangat bergantung pada proses individu dan dukungan tim kesehatan lainnya.

Disampaikan dalam Temu Ilmiah Geriatri Semarang pada hari Sabtu tanggal 29 Maret 2008 di Hall Instalasi Geriatri Lt. II (Pav. Lanjut Usia Prof. Boedhi Darmojo) RS Dr. Kariadi Semarang


Baca selengkapnya...

Sunday, March 23, 2008

Perawatan Lanjutan di Rumah Pada Penderita Leukemia Anak

A. Pendahuluan

Leukemia merupakan jenis penyakit yang disebabkan adanya proliferasi patologis dari sel pembuat darah atau disebabkan adanya transformasi progenitor hematopoeitik namun bukan sebagai penyakit yang diturunkan. Tipe leukemia terdiri dari leukemia limfositik akut (LLA), leukemia mieloblastik akut (LMA), leukemia limfositik kronik (LLK), leukemia mielositik kronik (LMK), mielosis eritremik (ME), eritroleukemia dan retikulosis. LLA merupakan jenis penyakit keganasan yang paling sering dijumpai pada anak atau seperempat dari semua kasus keganasan pada anak dan LLA memiliki proporsi 75-85% dari semua kasus leukemia pada anak. Oleh karenanya, fokus tulisan ini lebih banyak membahas mengenai LLA.

LLA merupakan keganasan pada sel limfoid yang ditemukan di sumsum tulang namun dapat bermigrasi ke semua organ secara sistemik termasuk pada Sistem Syaraf Pusat (SSP). Gejala dan tanda leukemia mencerminkan derajat supresi eritropoiesis, trombopoiesis, leukopoiesis di sumsum tulang oleh sel leukemia dan penyebarannya di luar sumsung tulang dapat memberikan manifestasi anemia, gangguan perdarahan, trombosis, antikoagulasi, dan kerentanan terhadap infeksi. , , Gejala yang perlu diwaspadai dan sering ditemukan pada leukemia antara lain pucat, demam yang tidak jelas sebabnya, nyeri tulang dan pembengkakan perut. Menurut penelitian tahun 1993 di Jakarta menunjukkan bahwa insidensi leukemia anak adalah 27,6% tiap satu juta anak berusia 1-14 tahun, sedangkan di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta telah tercatat sejumlah 35% kasus LLA dan 13% kasus LMA dari penderita kanker anak dalam periode tahun 2000-2004.

LLA umumnya diderita oleh anak berumur 2-10 tahun dengan puncak insidensi pada usia 3-4 tahun, kemudian insidensinya menurun sesuai dengan perkembangan usia namun memiliki peluang untuk muncul kembali 30 tahun setelah pengobatan LLA. Insidensi LLA di Amerika Serikat lebih sering terjadi pada anak-anak kulit putih daripada kulit hitam, begitu juga pada anak laki-laki daripada anak perempuan. Sedangkan menurut penelitian di Inggris, insidensi LLA pada kelompok sosial ekonomi yang berbeda tidak memiliki perbedaan yang bermakna. Meskipun faktor-faktor genetik, lingkungan, virus, dan menurunnya imunitas terkait dengan patogenesis LLA, penyebab utama dari sebagian besar kasus masih belum diketahui secara pasti.

Menurut penelitian, anak dengan leukemia yang berusia lebih muda memiliki harapan hidup lebih tinggi 61-77% dibanding remaja berusia 20 tahun. Kurang lebih 80% penderita dengan LLA memiliki peluang hidup lebih lama setelah mendapatkan protokol pengobatan LLA meskipun 40–60% pada kelompok tersebut bergantung pada jenis protokol yang digunakan. Berdasarkan kewilayahan, penatalaksanaan pengobatan dan perawatan anak dengan LLA di negara-negara maju dapat meningkatkan angka kesembuhan (cure rate) sampai dengan 80%, sedangkan angka kesembuhan di negara-negara berkembang masih berkisar antara 10-48% karena pasien terlambat mendapatkan pengobatan yang adekuat atau justru tidak taat menyelesaikan protokol pengobatan. Penyebab utama hal tersebut adalah faktor latar belakang pendidikan dan tingkat ekonomi orangtua yang kurang serta sikap tim kesehatan terhadap penatalaksanaan LLA.

Pengobatan utama LLA adalah kemoterapi yang diberikan secara kombinasi dengan lama pengobatan dua tahun melalui beberapa fase, yaitu: fase induksi, konsolidasi, intensifikasi dan pemeliharaan. Monitor terhadap efek samping kemoterapi jangka pendek dan jangka panjang perlu dilakukan. Keberhasilan penatalaksanaan leukemia anak dalam memperpanjang umur harapan hidupnya perlu sangat dipengaruhi oleh penanganan yang komprehensif dengan upaya perawatan yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup anak. Keterlibatan berbagai pihak dapat memberikan arti bagi peningkatan kualitas hidup penderita LLA, antara lain: keterlibatan berbagai profesi kesehatan, orang tua, psikolog, organisasi social penunjang, faktor risiko, pengobatan penunjang, dan ketaatan pengobatan.

Salah satu komponen utama dalam penatalaksanaan leukemia anak adalah perawatan lanjutan (follow-up) penderita LLA. Makalah ini akan membahas perawatan lanjutan penderita LLA di rumah dengan menggunakan pendekatan model kualitas hidup penderita leukemia anak.

B. Model kualitas hidup penderita LLA

Model kualitas hidup penderita LLA dikembangkan dari pemikiran bahwa dengan semakin meningkatnya harapan hidup penderita LLA, petugas kesehatan tidak cukup hanya berfokus pada hasil dan efektivitas pengobatan saja namun perlu disuplementasikan intervensi perawatan yang komprehensif. Oleh karenanya, indikator-indikator dalam model kualitas hidup penderita LLA mencerminkan dampak penatalaksanaan penderita LLA. Model di atas terdiri dari empat ranah kualitas hidup anak penderita LLA, yaitu: (1) kesehatan fisik dan mengatasi manifestasi klinis (physical well-being and symptoms); (2) kesehatan psikologis (psychological well-being); (3) kesehatan sosial (social well-being); dan (4) kesehatan spiritual (spiritual well-being). Ranah-ranah tersebut sesuai dengan berbagai publikasi mengenai dimensi kualitas hidup penderita keganasan.

Intervensi asuhan keperawatan penderita leukemia anak di rumah menggunakan strategi untuk menurunkan dampak penyakit leukemia sebagai stresor dan meningkatkan resistensi klien sebagai kualitas hidupnya. Intervensi keperawatan diberikan untuk menjaga stabilitas klien, ketersediaan sumber energi sistem, dan dukungan terhadap klien untuk mencapai kualitas hidup yang optimal. Intervensi keperawatan terhadap penderita ALL dikategorikan menjadi dua jenis, yaitu prevensi sekunder dan prevensi tersier.

Prevensi sekunder bertujuan untuk melakukan penatalaksa-naan berbagai manifestasi leukemia (prompt treatment) dan mencegah/membatasi kecacatan (disability limitation). Penatalak-sanaan manifestasi leukemia, misalnya: penatalaksanaan nyeri nonfarmakologik; pencegahan cedera; penanganan perdarahan, anemia, gangguan hidrasi, perubahan nutrisi, nyeri, mukositis, infeksi sekunder, dan kedaruratan onkologik; penanganan respons terhadap tindakan kemoterapi; dan koping keluarga. Prevensi tersier bertujuan untuk upaya rehabilitasi, pendidikan kesehatan yang bersifat readaptasi, pendidikan kesehatan untuk mencegah komplikasi, dan memelihara stabilitas kesehatan anak.

C. Intervensi keperawatan penderita leukemia anak di rumah

Intervensi keperawatan penderita leukemia anak di rumah pada prinsipnya sama dengan penatalaksanaan perawatan akut.

1. Aspek kesehatan fisik dan mengatasi manifestasi klinis (physical well-being and symptoms)

a. Memantau respons anak terhadap pengobatan kemoterapi.
  • Diare. Berikan cairan per oral. Lakukan perawatan kulit pada bokong dan daerah perineum. Pantau efektivitas obat antidiare. Hindari makanan dan buah-buahan tinggi-selulose Beri makan sedikit tapi sering; jika mungkin beri makanan yang disukai anak. Kurangi atau jangan berikan daging.
  • Anoreksia. Observasi adanya tanda-tanda kekurangan cairan (dehidrasi). Beri makan sedikit tapi sering yang berupa makanan lunak kaya zat gizi dan kalori. Dianjurkan makan makanan yang disukai atau dapat diterima walaupun tidak lapar. Hindari minum sebelum makan. Tekankan pada anak bahwa makan adalah bagian penting dalam program pengobatan.
  • Mulut kering. Makanan atau minuman diberikan dengan suhu dingin. Bentuk makanan cair. Kunyah permen karet atau hard candy.
  • Mual dan muntah. Beri makanan kering. Hindari makanan yang berbau merangsang. Hindari makanan lemak tinggi. Makan dan minum perlahan-lahan. Hindari makanan atau minuman terlalu manis. Batasi cairan pada saat makan. Tidak tiduran setelah makan.
  • Retensi cairan. Pantau asupan dan keluaran cairan. Timbang berat badan harian. Bila ada anak sesak nafas (gawat pernapasan) segera dibawa ke rumah sakit. Ubah posisi tidur anak sesering mungkin.
  • Hiperuremia. Pantau asupan dan keluaran. Anjurkan anak untuk banyak minum. Lakukan perawatan kulit anak agar rasa gatal berkurang.
  • Demam dan menggigil. Catat frekuensi gejala. Berikan rasa nyaman dengan memberinya selimut dan mandi hangat-hangat kuku (tepid sponge).
  • Sariawan (stomatitis dan ulkus mulut). Berikan rasa nyaman dengan sering berkumur, memakai cairan pencuci mulut, dan permen yang keras.
  • Rambut rontok (alopesia). Persiapkan anak dan keluarga untuk menghadapi kerontokan rambut. Yakinkan hati anak dan keluarga bahwa kerontokan rambut tersebut hanya sementara. Siapkan anak dan keluarga tentang tumbuhnya rambut baru yang berbeda warna dan tekstur dari rambutnya semula. Gunakan syal, topi, atau wig sebelum rambut mulai rontok sebagai usaha untuk mengalihkan perhatian. Sering keramas untuk mencegah cradle cap. Cegah penggunaan bahan kimia rambut, seperti larutan pengkriting rambut yang permanen, ketika rambut tumbuh kembali. Bantu anak memilih pakaian yang dapat meningkatkan aspek positif penampilan anak.
b. Mencegah infeksi sekunder serta memantau adanya tanda dan gejala infeksi
  • Waspadai bahwa demam dan batuk adalah tanda yang terpenting dari infeksi. Lebih banyak pasien yang meninggal karena infeksi daripada karena penyakitnya.
  • Buatkan kamar protektif yang semi steril mendekati ruangan isolasi di rumah sakit.
  • Minta anak memakai masker bila keluar rumah atau bersama orang lain terutama bila sedang menderita neutropenik berat (leukosit kurang dari 1000/mm3).
  • Cuci tangan dengan alkohol 80%. Gunakan semprotan alkohol untuk cuci tangan sebelum dan sesudah memegang anak.
  • Kurangi kontak dengan orang lain. Pada saat agranulositosis (jumlah total neutrofil <>
  • Perawatan gigi dan mulut harus dikerjakan setiap hari. Setiap habis makan dan terutama kalau mau tidur harus dilakukan sikat gigi (dengan sikat gigi yang harus), kumur betadin dan kumur antijamur.
  • Setiap hari diwajibkan memeriksa kulit secara menyeluruh dari ujung rambut kepala sampai ujung kaki. Daerah kemaluan juga harus diperhatikan, daerah tersebut sering terabaikan dan justru di daerah itu pula sering muncul infeksi kulit.
  • Makanan hygienis.
  • Jaga kebersihan diri anak termasuk kuku yang bersih.
c. Pantau adanya tanda dan gejala komplikasi
  • Somnolens radiasi: Dimulai 6 minggu setelah menerima radiasi kraniospinal, anak menunjukkan keletihan berat dan anoreksia selama kira-kira 1 sampai 3 minggu. Orang tua sering kali merasa khawatir tentang terjadinya kambuhan pada saat ini dan perlu untuk diyakinkan.
  • Gejala SSP: Sakit kepala, penglihatan kabur atau ganda, muntah. Gejala-gejala tersebut dapat mengindikasikan keterlibatan SSP dalam leukemia.
  • Gejala pernapasan: Batuk dan sesak nafas. Gejala tersebut mengindikasikan adanya pneumosistitis atau infeksi pernapasan lainnya.
d. Mencegah cedera yang dapat menyebabkan perdarahan
  • Pantau adanya tanda dan gejala perdarahan.
  • Periksa adanya memar dan kemerahan pada kulit.
  • Periksa adanya mimisan dan gusi berdarah.
  • Jaga agar kuku tetap pendek.
  • Hindari penumpuan beban pada alat gerak yang sakit
  • Hindari kecelakaan dan cedera. Pastikan lingkungan ruangan termasuk barang-barang yang ada di ruangan agar benar-benar aman dan tidak berisiko mencederai anak.
  • Anjurkan aktivitas bermain yang tenang.
e. Pemberian nutrisi.
  • Tujuan diit. Memberikan makanan yang seimbang sesuai dengan keadaan penyakit serta daya terima anak. Mencegah atau menghambat penurunan berat badan secara berlebihan. Mengurangi rasa mual, muntah, dan diare. Mengupayakan perubahan sikap dan perilaku sehat terhadap makanan oleh pasien dan keluarganya.
  • Syarat-syarat diet di rumah. Energi tinggi, yaitu 36 kkal/kg BB untuk laki-laki dan 32 kkal/kg BB untuk perempuan. Apabila pasien berada dalam keadaan gizi kurang, maka kebutuhan energi menjadi 40 kkal/kg BB untuk laki-laki dan 36 kkal/kg BB untuk perempuan. Protein tinggi, yaitu 1-1,5 g/kg BB. Lemak sedang, yaitu 15-20% dari kebutuhan energi total. Karbohidrat cukup, yaitu sisa dari kebutuhan energi total. Vitamin dan mineral cukup, terutama vitamin A, B kompleks, C dan E. Bila perlu ditambah dalam bentuk suplemen. Bila imunitas menurun (leukosit <>
  • Jenis makanan atau diet yang diberikan hendaknya memperhatikan nafsu makan, perubahan indra kecap, rasa cepat kenyang, mual, penurunan berat badan, dan akibat pengobatan.
  • Hindari makanan atau minuman yang merangsang batuk, misalnya makanan berminyak, makanan asam, pewarna makanan, MSG.
  • Sesuai dengan keadaan pasien, makanan dapat diberikan dalam bentuk makanan padat, makanan cair, atau kombinasi. Untuk makanan padat dapat berbentuk makanan biasa, makanan lunak, atau makanan lumat.
  • Apabila terdapat kesulitan mengunyah atau menelan. Minum dengan menggunakan sedotan. Makanan atau minuman diberikan dengan suhu kamar atau dingin. Bentuk makanan disaring atau cair. Hindari makanan terlalu asam atau asin.
f. Mengatasi nyeri dengan teknik penatalaksanaan nyeri nonfarmakologik.

Beberapa teknik penatalaksanaan nyeri nonfarmakologik yang dikelompokkan menurut umur penderita leukemia, adalah :
  • Toddler (anak di bawah umur tiga tahun). Teknik penatalaksanaan nyeri nonfarmakologik pada toddler, antara lain: mainan, buku cerita bergambar, musik, pernafasan terkontrol – meniup air sabun, dan stimulasi kutan: usapan, pemijatan.
  • Anak usia prasekolah (3-4 tahun). Teknik penatalaksanaan nyeri nonfarmakologik pada anak usia prasekolah, antara lain: mainan, buku cerita bergambar, mencari gambar tersamar, mendengarkan musik atau dongeng melalui headset, menonton video, imajinasi emotif-menggunakan super-hero favorit anak untuk “melawan” nyeri, pernafasan terkontrol, stimulasi kutan, dan latihan perilaku – menjadi akrab dengan prosedur melalui bermain.
  • Anak usia sekolah (5-12 tahun). Teknik penatalaksanaan nyeri nonfarmakologik pada anak usia sekolah, antara lain: imajiner, mendengarkan musik atau dongeng melalui headset, menonton video, bermain play-station atau video-games, pernafasan terkontrol, stimulasi kutan, dan latihan perilaku.
g. Mencegah dan mengatasi mukositis
  • Hindari sikat gigi yang berbulu keras.
  • Hindari makanan keras yang harus dikunyah berlebihan
  • Hindari makanan yang asam dan pedas.
  • Hindari makanan yang masih panas h. Berikan cukup istirahat dan tidur
2. Aspek kesehatan psikologis (psychological well-being)
  • Berikan pendidikan kesehatan mengenai leukemia terutama prognosis penyakit kepada keluarga untuk mengurangi kecemasan dan depresi.
  • Berikan pendidikan kesehatan kepada anak bahwa prosedur pengobatan sangat penting bagi peningkatan kesehatan anak. Hal ini untuk mengurangi stres terhadap prosedur pengobatan.
  • Anjurkan anak dan keluarga untuk mengungkapkan perasaan mereka. Anak dan keluarganya perlu untuk menyesuaikan hidup dengan berbagai fase penyakit yang mengancam hidup.
  • Bantu anak dan keluarga melakukan koping positif. Reaksi anak sebagian besar bergantung pada usianya, informasi yang diberikan kepada anak, dan dampak fisik penyakit.
  • Berikan fasilitas permainan yang menghibur namun aman.
3. Aspek kesehatan sosial (social well-being)
  • Beri penyuluhan kepada anak dan keluarga mengenai penatalaksanaan penyakit dan pengobatan termasuk konsekuensi jangka panjang baik rencana perawatan dan finansial keluarga. Dampak jangka panjang kanker masa kanak-kanak: 1) Katarak. Rujuk anak ke spesialis mata dan persiapkan untuk kemungkinan operasi katarak. 2) Hilang pendengaran. Rujuk anak ke dokter THT dan ahli terapi wicara; persiapkan untuk kemungkinan penggunaan alas pendengaran. 3) Fibrosis pulmonal. Anjurkan anak mendapat vaksin flu dan perawatan segera untuk infeksi pernapasan; anjurkan orang tua untuk menghentikan merokok. 4) Kardiorniopati, kerusakan perikardium, aterosklerosis dini, dan aritmia ventrikular. Rujuk anak ke spesialis jantung. 5) Enteritis dan sirosis kronis. Rujuk anak ke ahli nutrisi, mungkin diperlukan modifikasi diet 6) Nefritisisistitis kronis. Rujuk anak ke spesialis penyakit dalam (nefrolog), pertahankan hidrasi, dan persiapkan anak untuk kemungkinan dialisis. 7) Skoliosis/kifosis, wajah asimetris, atau masalah pada gigi. Rujuk anak pada pelayanan rehabilitasi dan dokter gigi; anjurkan perawatan oral yang tepat; beritahu anak untuk menghindari permainan atau olahraga yang berat. 8) Imunosupresi yang memanjang. Anjurkan tindakan pengendalian infeksi, beri antibiotik profilaksis, periksa laboratorium untuk cek hitung darah, dan amati tanda-tanda infeksi. 9) Disfungsi testis atau ovarium. Rujuk anak ke spesialis endokrin. Diskusikan terapi hormon pengganti. 10) Hipotiroidisme atau disfungsi hipotalamus. Rujuk anak ke spesialis endokrin dan persiapkan anak menghadapi postur tubuhnya yang pendek. 11) Gangguan sistem saraf pusat, antara lain leukoensefalopati, neuropati perifer, dan defek kognitif. Pantau perkembangan dan kolaborasi dengan staf sekolah dan keluarga untuk membantu anak melakukan kemampuan yang optimal. 12) Keganasan sekunder. Anjurkan keluarga berpartisipasi dalam perawatan tindak lanjut yang sedang berjalan untuk memantau kemungkinan keganasan sekunder.
  • Beri pendidikan kesehatan pada orang tua secara rinci mengenai aspek-aspek penatalaksanaan medis untuk memantapkan ketaatan orangtua dan anak, yaitu: 1) Proses penyakit -- tanda, gejala, komplikasi, dan aturan pengobatan. 2) Pemberian obat -- respons terapeutik terhadap pengobatan, reaksi terhadap pengobatan yang tidak diinginkan. 3) Prosedur pengobatan—langkah-langkah prosedur dan jadwalnya 4) Aktivitas-aktivitas yang dilarang 5) Kebutuhan alat -- perawatan dan pemeliharaan, nomor telepon kantor yang menjual kebutuyhan alat 6) Nama dan nomor telepon kontak untuk pemeriksaan lanjut (misalnya: rumah sakit, klinik, dokter, perawat)
  • Minta orang tua untuk mengidentifikasi gejala yang menandakan penurunan kondisi dan yang perlu dilaporkan kepada dokter.
  • Berikan informasi pada anak dan keluarga tentang dukungan sosial kemasyarakatan bagi perawatan jangka-panjang. 1) Dukungan pihak sekolah 2) Kelompok orang tua dengan permasalahan yang sama. Orangtua membutuhkan teman senasib sepenanggungan dalam satu wadah organisasi. Sehingga, para orangtua merasa mendapat dukungan, tidak sendirian, bisa curhat maupun berbagi ilmu/tips dalam membesarkan buah hati mereka. Tidak sedikit yang mengakui, dengan ikut komunitas seperti ini, orangtua tambah pintar dan semakin peduli. Kondisi anak-anak mereka pun mengalami kemajuan hingga memberi harapan untuk bisa lebih baik dan lebih baik lagi. Organisasi yang berkaitan dengan kanker anak, yaitu: a) Yayasan Onkologi Anak Indonesia. Sekretariat: RS Kanker Dharmais Lt. 1. Jl. Letjen S. Parman Kav 84-86, Slipi, Jakarta Barat. Telp. (021) 5681612/5681570 ext 2030 Fax. (021) 5681612. Email: yoai_sekretariat@yahoo.com b) Yayasan Kanker Indonesia. Sekretariat: Jl. DR. Sam Ratulangi 35 Jakarta 10350. Telp.: (021) 3152606, 3152603, 3920568 - Fax : (021) 3108170. E-mail : ykipusat@rad.net.id
  • Pantau adanya gangguan dalam fungsi dan peran keluarga. 1) Dasari semua intervensi pada latar belakang budaya, agama, tingkat pendidikan, dan sosial ekonomi keluarga. 2) Libatkan dukungan sosial anggota keluarga lain dalam program pengobatan dan perawatan anak 3) Tingkatkan keutuhan keluarga agar dapat memberikan lingkungan psikologis yang positif bagi anak.
  • Fasilitasi ketaatan keluarga dalam penatalaksanaan jangka panjang selama kunjungan pemeriksaan lanjut. Tanyakan berbagai factor pendukung ketaatan pengobatan, misalnya: ketersediaan alat transportasi, sumber-sumber financial keluarga, tingkat motivasi.
  • Cegah adanya isolasi sosial bagi anak. Tingkatkan peran peer-group sebagai sumber pemdukung sosial.
4. Aspek kesehatan spiritual (spiritual well-being)

Aspek spiritual sangat penting ditekankan agar anak dan keluarga dapat memahami dan memaknai bahwa di balik cobaan penyakit memiliki hikmah kehidupan yang Diberikan oleh Tuhan Yang Maha Esa. Keikhlasan menerima penyakit merupakan modal utama munculnya motivasi, harapan dan optimisme.

D. Penutup


Penyakit leukemia pada anak dimana LLA merupakan kasus terbanyak yang ditemui pada kasus kanker anak memiliki protokol pengobatan yang lama. Program pengobatan dan perawatan jangka panjang memerlukan kekuatan dan keberlanjutan berbagai sumber daya keluarga dan pendukungnya. Oleh karenanya, perawatan lanjutan di rumah pada penderita leukemia anak perlu memperhatikan aspek-aspek perawatan yang berorientasi pada peningkatan kualitas hidup anak.

Catatan:
Naskah lengkap dapat diklik di sini.



Baca selengkapnya...

Monday, February 05, 2007

Stretching exercises for increasing muscle strength and quality in older adults with Type-2 Diabetes

Introduction

Health status is an important factor that has a significant impact on the quality of life of an elderly population. The major elements of health status are perceived health, especially psychological well-being, chronic illnesses, and functional status. Various studies have shown that perceived health declines with age, and the effects of ill health impact on many areas of daily activity (Setiabudhi & Hardywinoto, 1999; Roman, Tatemichi, & Erkinjuntti, 1993; Boyle, Paul, Moser, Zawacki, Gordon & Cohen, 2003; Guralnik, La Croix & Abbott, 1993; Harris, Kovar, Suzman, Kleinman, & Feldman, 1989). According to the statistics and uninfected diseases surveillance in 2002 at Depok (BAPPEDA & BPS Kota Depok, 2003, 2004, 2005), diabetes is becoming increasingly prevalent and undertreated in elderly people. Diabetes mellitus as a long-standing illness has been associated with limitations in activities of daily living among elderly people (Ayis, Gooberman-Hill, Ebrahim, MRC Health Services Research Collaboration, 2003; Parmet, 2004).

In older adults, diabetes has been associated with a two- to threefold increased risk of developing physical disability (Gregg, Beckles, Williamson, Leveille, Langlois, Engelgau, & Narayan, 2000; Gregg, Mangione, Cauley, Thompson, Schwartz, Ensrud, & Nevitt, 2002; Ryerson, Tierney, Thompson, Engelgau, Wang, Gregg, & Geiss, 2003; Von Korff, Katon, Lin, Simon, Ciechanowski, Ludman, Oliver, Rutter, & Young, 2005). The Health, Aging, and Body Composition (Health ABC) study has reported the association of diabetes with sub clinical functional limitation (De Rekeneire, Resnick, Schwartz, Shorr, Kuller, Simonsick, Vellas, & Harris, 2003). However, one of the most crucial factors determining functional capacity is mobility. As the musculoskeletal system deteriorates with increasing chronic conditions frequently combined with diabetes, such as coronary heart disease, peripheral artery disease, visual impairment, and depression, partially explained the association, but still 40% of excess risk for physical disability remained unexplained (Ciechanowski, Russo, Katon, Von Korff, Ludman, Lin, Simon, & Bush, 2004; Tanaka1 & Seals, 2003).

Low muscle strength, but not muscle mass, is associated with poor physical function in older men and women (Visser, Deeg, Lips, Harris, Bouter, 2000; Visser, Newman, Nevitt, Kritchevsky, Stamm, Goodpaster, & Harris, 2000. Muscle strength measured in midlife or old age is highly predictive of functional limitations and disability up to 25 years later (Rantanen, Guralnik, Foley, Masaki, Leveille, Curb, &amp;amp; White, 1999; Rantanen, Avlund, Suominen, Schroll, Frandin, & Pertti, 2002; Visser, Goodpaster, Kritchevsky, Newman, Nevitt, Rubin, Simonsick, & Harris, 2005). In the present study, diabetes is associated with lower skeletal muscle strength and quality. These characteristics may contribute to the development of physical disability in older adults with diabetes. The Health ABC Study evaluated hand grip and knee extensor strength and muscle quality in community-dwelling older adults with and without diabetes in. Older adults with diabetes had greater arm and leg muscle mass than those without diabetes because they were bigger in body size (Newman, Haggerty, Goodpaster, Harris, Kritchevsky, Nevitt, Miles, & Visser, 2003). Despite this, muscle strength was lower in men with diabetes and not higher in women with diabetes than corresponding counterparts. Muscle quality, defined as muscle strength per unit regional muscle mass, was significantly lower in men and women with diabetes than those without diabetes in both upper and lower extremities. Furthermore, longer duration of diabetes (>6 years) and poor glycemic control (HbA1c >8.0%) were associated with even poorer muscle quality (Park, Goodpaster, Strotmeyer, de Rekeneire, Harris, Schwartz, Tylavsky, & Newman, 2006).

Low muscle strength is one of the most significant changes that adversely affect the ability of older people to cope independently in their communities and to have contacts with other people. Impaired mobility also greatly increases the need for different kinds of services. Interventions at early stages to reduce dysfunctional capacity may preserve function in community-dwelling older adults with diabetes in (Figaro, Kritchevsky, Resnick, Shorr, Butler, Shintani, Penninx, Simonsick, Goodpaster, Newman, Schwartz, & Harris, 2006). Improved strength has been associated with improved muscle and bone mass, balance, and also mobility (Rhodes, Martin, Taunton, Donnelly, Warren, & Elliot, 2000). All of these factors are important in the prevention of fractures and improved quality of life. Studies have also demonstrated that exercise can delay the normal decline in physical performance associated with diabetes (Sriwijitkamol, Christ-Roberts, Berria, Eagan, Pratipanawatr , DeFronzo, Mandarino, & Musi1, 2006). A typical exercise program includes activities aimed at increasing musculoskeletal flexibility, strength, and quality. Exercise training also has favorable effects on the controlled blood sugar, the regulation of blood pressure, and the prevention of excessive weight gain (Fairey, Courneya, Field, Bell, Jones, & Mackey, 2003; Ciechanowski, Russo, Katon, Von Korff, Ludman, Lin, Simon, & Bush, 2004; Booth, Gordon, Carlson, & Hamilton, 2000).

Purpose of the paper

The purpose of this paper is to explain a promoting functional capacity through increasing muscle strength and quality in older adults with type-2 diabetes.

Objectives of the paper

The objectives of this paper are to:

  1. Describes the decreasing functional capacity especially strength and quality muscle in older adults with type 2 diabetes.
  2. Describes a stretching exercise aimed at increasing musculoskeletal strength and quality.
  3. Describes the implications on promoting functional capacity through increasing muscle strength and quality in older adults with type-2 diabetes exercise program for the community health nursing practice.
Literature Review

Functional capacity is defined here as the ability to perform the physical tasks of daily life and the ease with which these tasks can be performed. Functional capacity declines at older adults with type 2 diabetes, resulting in a reduced capacity to perform certain physical tasks. This can eventually result in increased incidence of functional disability, increased use of health care services, loss of independence, and reduced quality of life (
Tanaka & Seals, 2003). Moreover, the decline in functional capacity provides a serious threat to individuals engaging in physically demanding occupations (WHO Study Group, 1993).
The capacity of the human body to make use of muscle strength peaks between ages 20 and 30 and from there on steadily declines with age, most significantly between ages 50 and 60. Muscle strength and quality decline can be fasted by diabetes. These changes are the result of a related skeletal muscle with the insulin action. Skeletal muscle is the major site of insulin-mediated glucose disposal and is implicated in the pathogenesis of insulin resistance and diabetes. Several pieces of evidence suggest that insulin action may be related to the oxidative capacity of skeletal muscle (Short, Vittone, Bigelow, Proctor, Rizza, Coenen-Schimke, & Nair, 2003). First, aerobic exercise training improves both insulin sensitivity and activity of oxidative enzymes in muscle (Ryder, Chibalin, & Zierath, 2001). Second, people who are obese and insulin resistant or have type 2 diabetes tend to have lower activity of muscle oxidative enzymes (Simoneau, Veerkamp, Turcotte, & Kelley, 1999).Third, insulin infusion preferentially stimulates the synthesis rate of mitochondrial proteins in skeletal muscle and increases the mRNA abundance genes associated with mitochondria and glucose metabolism (Boirie, Short, Ahlman, Charlton, & Nair, 2001). Fourth, recent work has shown that genes for mitochondrial proteins and the primary glucose transporter in muscle, GLUT4, are regulated by common signals, including elevations in cytosolic calcium and the transcriptional coactivator PGC-1α (peroxisome proliferator–activated receptor [PPAR]-γ coactivator 1α). Muscle mitochondrial function and gene expression are reduced in aging muscle, but the underlying cause and the relationship to insulin action are not yet understood.(Huang, Eriksson, Vaag, Lehtovirta, Hansson, Laurila, Kanninen, Olesen, Kurucz, Koranyi, & Groop, 1999)

A typical exercise program includes activities aimed at increasing musculoskeletal strength and quality. All of these components are important, and different types of activity are required for each. Exercise objectives can be either therapeutic or preventive in nature. Accomplishing these objectives can be related to specific types of exercise, for examples stretching, strengthening, and endurance.(Burke & Laramie, 2000)­

In this paper, we suggested the stretching exercises for the older adults with type 2 diabetes. Stretching exercises are intended to maintain or improve joint range of motion (ROM) and flexibility and to prepare individuals for activity and function. It can also be used during an exercise cool-down period. In the older adult with type 2 diabetes lack of flexibility usually limits an activity, rather than decreases strength. The lack of flexibility imposed by years of inactivity can yield an enormous degree of joint and motor limitation. This physiological limitation can cause burdensome functional limitations and, in the extreme, serious subsequent dependency. Activities such as grooming, dressing, sitting at a standard-height toilet or in a straight-back chair, reaching, and even stair climbing can be impaired by the joint limitation caused by lack of flexibility.

Stretching exercise are the only exercises that will increase flexibility. Stretching exercises do not increase strength or cardiovascular fitness. Static stretching is generally recommended as the best way of maintaining muscle length and correcting muscle imbalance. The stretching action can be done at everywhere and should be performed slowly and carefully, maintaining tension on the muscle for 10 to 20 seconds and then slowly releasing the stretch. A stretching session usually centers around 15 to 20 minutes of stretching exercise per day. When used as the warm-up and cool down segments of an exercise program, the stretching session can be limited to 5 to 8 minutes. The optional duration and intensity of stretching and the effects of temperature are still being questioned in the literature.

Figure 1. Examples of stretching exercises
Gently pull chin in while lengthening back of neck. Hold 10 seconds.
Bring arms straight up over head and back as far as possible, causing back to arch gently. Hold 10 seconds.
Place hands behind your head and pull elbows back as far as possible. Hold 10 seconds.
With arms behind doorjamb, gently lean forward. Hold for 10 seconds. Stretch is felt across chest.


Figure 2. Functional solo exercise patterns.
Trunk flexion
Trunk rotation
Left sided modified lunge
Assisted forward modified lunge

Figure 3. Functional partnered exercise patterns
Resisted back extension
Resisted arm lifts
Resisted horizontal shoulder abduction/adduction
Resisted arm extension with modified lunge

Implications for the community health nursing practice

Ultimately the community health nurse has the potential to be cost effective as it encourages a more responsible and independent patient population. This may result in shorter lengths of stay, a reduction in unnecessary utilization of expensive hospital care and greater emphasis on home care with support systems.

The work group could be developed and implemented as a restorative model of care that integrates the medical treatments for acute disease processes and the personal care and rehabilitative interventions directed toward chronic disabilities, to improve the functional outcomes of older adults receiving home care.

Conclusions

Muscle strength and quality declines are significant problems for many older adults with type 2 diabetes. Although not all muscle strength and quality declines can be prevented, the stretching exercise program that target specific resident problems with activities of daily living have been shown to increasing musculoskeletal strength and quality related to the insulin action. The greatest contribution to the older adults with type 2 diabetes in functional abilities resulted from improved hand grip and knee extensor strength and muscle quality. This indicates the potential of this exercise program to improve functional abilities that may have implications for an older adults with type 2 diabetes’s ability to continue to live independently in the community.

In patients with less severe disability, rehabilitation may be conducted and supervised mainly by a single health professional, such as a physiotherapist, who consults with other health professionals about specific issues. An example may be a nurse assisting an older person to become more independent in self-care who consults a physiotherapist or rehabilitation physician for specific help with the patient's mobility retraining.

Reference :

  1. Setiabudhi, T. & Hardywinoto. (1999). Panduan Gerontologi Tinjauan Dari Berbagai Aspek, Menjaga Keseimbangan Kualitas Hidup Para Lanjut Usia, Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama.
  2. Roman, G.G., Tatemichi, T.K., & Erkinjuntti, T. (1993). Vascular dementia: diagnostic criteria for research studies. Report of the NINDSAIREN International Work Group. Neurology, 43:250–260.
  3. Boyle, P.A., Paul, R., Moser, D., Zawacki, T., Gordon, N. & Cohen, R. (2003). Cognitive and Neurologic Predictors of Functional Impairment in Vascular Dementia. Am J Geriatr Psychiatry, 11:103–106.
  4. Guralnik, JM., La Croix, A., & Abbott, RD. (1993). Maintaining Mobility in Late Life. Demographic Characteristics and Chronic Conditions. Am J Epidemiol, 137:845-857.
  5. Harris, T., Kovar, M.G., Suzman, R., Kleinman, J.C. & Feldman, J.J. (1989). Longitudinal Study of Physical Ability in the Oldest-old. Am J Public Health, 79: 698-702.
  6. BAPPEDA Kota Depok dan Biro Pusat Statistik Kota Depok. (2003). Kota Depok Dalam Angka 2003. Kota Depok: BPS [Katalog 1403.3276].
  7. BAPPEDA Kota Depok dan Biro Pusat Statistik Kota Depok. (2004). Kota Depok Dalam Angka 2004. Kota Depok: BPS [Katalog 1403.3276].
  8. BAPPEDA Kota Depok dan Biro Pusat Statistik Kota Depok. (2005). Kota Depok Dalam Angka 2005. Kota Depok: BPS [Katalog 1403.3276].
  9. Ayis S, Gooberman-Hill R, Ebrahim S, MRC Health Services Research Collaboration. (2003). Long-standing and limiting longstanding illness in older people: associations with chronic diseases, psychosocial and environmental factors. Age and Ageing; 32: 265–272.
  10. Parmet, S., (2004). Weight Gain and Diabetes. JAMA, 292(8): 998.
  11. Gregg EW, Beckles GL, Williamson DF, Leveille SG, Langlois JA, Engelgau MM, Narayan KM. (2000). Diabetes and physical disability among U.S. adults. Diabetes Care 23:1272–1277.
  12. Gregg EW, Mangione CM, Cauley JA, Thompson TJ, Schwartz AV, Ensrud KE, Nevitt MC. (2002). Diabetes and incidence of functional disability in older women. Diabetes Care 25:61– 67.
  13. Ryerson B, Tierney EF, Thompson TJ, Engelgau MM, Wang J, Gregg EW, Geiss LS. (2003). Excess physical limitations among adults with diabetes in the U.S. population, 1997–1999. Diabetes Care 26:206 –210.
  14. Von Korff M, Katon W, Lin EH, Simon G, Ciechanowski P, Ludman E, Oliver M, Rutter C, Young B. (2005). Work disability among individuals with diabetes. Diabetes Care 28:1326 –1332.
  15. De Rekeneire N, Resnick HE, Schwartz AV, Shorr RI, Kuller LH, Simonsick EM, Vellas B, Harris TB. (2003). Diabetes is associated with subclinical functional limitation in nondisabled older individuals: the Health, Aging, and Body Composition study. Diabetes Care 26:3257–3263.
  16. Visser M, Deeg DJH, Lips P, Harris T, Bouter LM. (2000). Skeletal muscle mass and muscle strength in relation to lower-extremity performance in older men and women. J Am Geriatr Soc 48:381–386.
  17. Visser M, Newman AB, Nevitt MC, Kritchevsky SB, Stamm EB, Goodpaster BH, Harris TB. (2000). Reexamining the sarcopenia hypothesis: muscle mass versus muscle strength. Ann N Y Acad Sci 904:456–461.
  18. Rantanen T, Guralnik JM, Foley D, Masaki K, Leveille S, Curb JD, White L. (1999). Midlife hand grip strength as a predictor of old age disability. JAMA 281:558 –560.
  19. Rantanen T, Avlund K, Suominen H, Schroll M, Frandin K, Pertti E. (2002). Muscle strength as a predictor of onset of ADL dependence in people aged 75 years. Aging Clin Exp Res 14 (Suppl. 3):10 –15.
  20. Visser M, Goodpaster BH, Kritchevsky SB, Newman AB, Nevitt MC, Rubin SM, Simonsick EM, Harris TB. (2005). Muscle mass, muscle strength, and muscle fat infiltration as predictors of incident mobility limitations in wellfunctioning older adults. J Gerontol Med Sci 60A:324–333.
  21. Newman AB, Haggerty CL, Goodpaster B, Harris TB, Kritchevsky SB, Nevitt M, Miles TP, Visser M. (2003). Strength and muscle quality in a wellfunctioning cohort of older adults: the Health, Aging, and Body Composition study. J Am Geriatr Soc 51:323–330.
  22. Park SW, Goodpaster BH, Strotmeyer ES, de Rekeneire N, Harris TB, Schwartz AV, Tylavsky FA, Newman AB. (2006). Decreased Muscle Strength and Quality in Older Adults With Type 2 Diabetes. The Health, Aging, and Body Composition Study. Diabetes 55:1813–1818.
  23. Figaro MK, Kritchevsky SB, Resnick HE, Shorr RI, Butler J, Shintani A, Penninx BW, Simonsick EM, Goodpaster BH, Newman AB, Schwartz AV, Harris TB. (2006). Diabetes, Inflammation, and Functional Decline in Older Adults Findings from the Health, Aging and Body Composition (ABC) study. Diabetes Care 29:2039–2045.
  24. Rhodes EC, Martin AD, Taunton JE, Donnelly M, Warren J, Elliot J. (2000). Effects of one year of resistance training on the relation between muscular strength and bone density in elderly women. Br J Sports Med, 34:18–22.
  25. Sriwijitkamol A, Christ-Roberts C, Berria R, Eagan P, Pratipanawatr T, DeFronzo RA, Mandarino LJ, Musi1 N. (2006).Reduced Skeletal Muscle Inhibitor of κBβ Content Is Associated With Insulin Resistance in Subjects With Type 2 Diabetes. Reversal by Exercise Training. Diabetes 55:760–767.
  26. Fairey AS, Courneya KS, Field CJ, Bell GJ, Jones LW, Mackey JR. (2003). Effects of Exercise Training on Fasting Insulin, Insulin Resistance, Insulin-like Growth Factors, and Insulin-like Growth Factor Binding Proteins in Postmenopausal Breast Cancer Survivors: A Randomized Controlled Trial. Cancer Epidemiology, Biomarkers & Prevention, 12; 721–727.
  27. Ciechanowski P., Russo J, Katon W, Von Korff M, Ludman E, Lin E, Simon G, Bush T. (2004). Influence of Patient Attachment Style on Self-care and Outcomes in Diabetes. Psychosomatic Medicine 66:720–728.
  28. Booth FW, Gordon SE, Carlson CJ, Hamilton MT. (2000). Waging war on modern chronic diseases: primary prevention through exercise biology. J. Appl. Physiol., 88: 774–787.
  29. Tanaka1 H & Seals DR. (2003). Invited Review: Dynamic exercise performance in Masters athletes: insight into the effects of primary human aging on physiological functional capacity. J Appl Physiol, 95: 2152–2162.
  30. WHO Study Group. (1993). Aging and Working Capacity. Geneva, Switzerland: World Health Organization.
  31. Short KR, Vittone JL, Bigelow ML, Proctor DN, Rizza RA, Coenen-Schimke JM, Nair KS. (2003). Impact of Aerobic Exercise Training on Age-Related Changes in Insulin Sensitivity and Muscle Oxidative Capacity. Diabetes, 52: 1888–1896.
  32. Ryder JW, Chibalin AV, Zierath JR. (2001). Intracellular mechanisms underlying increases in glucose uptake in response to insulin or exercise in skeletal muscle. Acta Physiol Scand 171:249–257.
  33. Simoneau JA, Veerkamp JH, Turcotte LP, Kelley DE. (1999). Markers of capacity to utilize fatty acids in human skeletal muscle: relation to insulin resistance and obesity and effects of weight loss. FASEB J 13:2051–2060.
  34. Boirie Y, Short KR, Ahlman B, Charlton M, Nair KS. (2001). Tissue-specific regulation of mitochondrial and sarcoplasmic protein synthesis rates by insulin. Diabetes 56:2652–2658.
  35. Huang X, Eriksson KF, Vaag A, Lehtovirta M, Hansson M, Laurila E, Kanninen T, Olesen BT, Kurucz I, Koranyi L, Groop L. (1999). Insulin-regulated mitochondrial gene expression is associated with glucose flux in human skeletal muscle. Diabetes 48:1508 –1514.
  36. Burke MM, Laramie JA. (2000). Primary Care of the Older Adult a Multidisciplinary Approach. St. Louis: Mosby.

Baca selengkapnya...

Monday, January 15, 2007

Pendidikan Kesehatan Dalam Pengelolaan Diabetes Secara Mandiri (Diabetes Self-Management Education) Bagi Diabetisi Dewasa

A. Latar Belakang

Diabetes mellitus (DM) merupakan kumpulan gejala yang timbul pada seseorang akibat tubuh mengalami gangguan dalam mengontrol kadar gula darah. Gangguan tersebut dapat disebabkan oleh sekresi hormon insulin tidak adekuat atau fungsi insulin terganggu (resistensi insulin) atau justru gabungan dari keduanya. Secara garis besar DM dikelompokkan menjadi 2 tipe, yaitu : DM tergantung pada insulin (DM tipe-1) dan non-DM tergantung pada insulin (DM tipe-2) (Stevens, 2002). Perbedaan karakteristik paling mencolok dari penderita DM tipe-1 atau tipe-2 adalah umur saat terjadinya penyakit DM (Soewondo, 2006). Pada umumnya, DM tipe-1 terjadi pada seseorang dengan usia di bawah 40 tahun bahkan separuhnya didiagnosis pada usia kurang dari 20 tahun. Sebaliknya, DM tipe-2 sebagian besar didiagnosis pada usia di atas 30 tahun, separuh dari kasus baru DM tipe-2 terjadi pada kelompok umur 55 tahun atau lebih. Oleh karenanya, DM tipe-2 lebih dikenal sebagai penyakit DM yang menyerang kaum dewasa (Parmet, 2004).

Risiko DM meningkat sejalan dengan bertambahnya usia dan memiliki kontribusi yang besar terhadap morbiditas dan mortalitas seseorang (ADA, 1998). DM tipe-2 memiliki hubungan dengan mortalitas pada berbagai kelompok umur bahkan dua kali lipat dibandingkan populasi non-diabetes; umur harapan hidup akan menurun 5 sampai 10 tahun pada kelompok umur pertengahan (Poulsen, 1998). Bahkan menurut penelitian di Inggris, lebih dari 80% pasien berumur ≥ 45 tahun yang baru didiagnosis mengidap DM setelah 10 tahun diobservasi ternyata memiliki risiko komplikasi penyakit jantung koroner >5%, 73% (45% sampai 92%) memiliki penyakit hipertensi, dan 73% (45% sampai 92%) memiliki konsentrasi kholesterol >5 mmol/l (Lawrence et al., 2001).


DM disebut sebagai penyakit kronis sebab DM dapat menimbulkan perubahan yang permanen bagi kehidupan seseorang. Penyakit kronis tersebut memiliki implikasi yang luas bagi lansia maupun keluarganya, terutama munculnya keluhan yang menyertai, penurunan kemandirian lansia dalam melakukan aktivitas keseharian, dan menurunnya partisipasi sosial lansia. Perawat komunitas sejak awal dapat berperan dalam meminimalisasi perubahan potensial pada sistem tubuh pasien. Beberapa penelitian eksperimental memperlihatkan bahwa perawat mempunyai peran yang cukup berpengaruh terhadap perilaku pasien (Tagliacozzo D.M., et.al., 1974). Salah satu peran yang penting guna mendorong masyarakat terutama lansia adalah agar lansia dan keluarga mampu memahami kondisi lansia diabetisi sehingga dapat melakukan perawatan diri secara mandiri (self-care). Tulisan ini mencoba untuk membahas sebuah model pendidikan kesehatan dalam pengelolaan diabetes secara mandiri (Diabetes self-management education/DSME).

B. Tujuan

1. Tujuan Umum

Meningkatkan pengertian dan kemampuan pengelolaan penyakit secara mandiri dalam kontrol metabolisme, mencegah komplikasi akut maupun kronis, serta mengoptimalkan kualitas hidup para lansia diabetisi dan keluarganya (Weerdt, Visser, & Veen, 1989; Clement, 1995).

2. Tujuan Khusus

  • Meningkatkan pengetahuan lansia diabetisi dan keluarganya tentang diabetes mellitus dan pengelolaannya (Padgett et al., 1988; Fernando, 1993).
  • Meningkatkan status psikososial lansia diabetisi dan keluarganya: kepercayaan dan sikap terhadap program pengobatan dan mekanisme koping (Padgett et al., 1988; Brown, 1990).
  • Meningkatkan perilaku sehat lansia diabetisi dan keluarganya: monitoring kadar gula darah secara mandiri, perencanaan makan (diet), latihan jasmani dan istirahat yang cukup, konsumsi obat hipoglikemik, dan menghindari rokok (Norris et al., 2002; Toobert, et al., 2003).

C. Diabetes Self-Management Education (DSME)

Beberapa penelitian mencatat bahwa 50–80% diabetisi memiliki pengetahuan dan ketrampilan yang kurang dalam mengelola penyakitnya (Norris, Engelgau, & Narayan, 2001; Palestin, Ermawan, & Donsu, 2005), dan kontrol terhadap kadar gula darah ideal (HbA1c<7.0%)>

DSME merupakan proses pendidikan kesehatan bagi individu atau keluarga dalam mengelola penyakit diabetes (Task Force to Revise the National Standards,1995) yang telah dikembangkan sejak tahun 1930-an oleh Joslin Diabetes Center (Bartlett,1986). DSME menggunakan metode pedoman, konseling, dan intervensi perilaku untuk meningkatkan pengetahuan mengenai diabetes dan meningkatkan ketrampilan individu dan keluarga dalam mengelola penyakit DM (Jack et al., 2004). Pendekatan pendidikan kesehatan dengan metode DSME tidak hanya sekedar menggunakan metode penyuluhan baik langsung maupun tidak langsung namun telah berkembang dengan mendorong partisipasi dan kerjasama diabetisi dan keluarganya (Funnell et al.,1991; Glasgow & Anderson,1999).

Intervensi DSME diharapkan dapat meningkatkan pengetahuan lansia diabetisi dan keluarganya tentang diabetes mellitus dan pengelolaannya (Padgett et al., 1988; Fernando, 1993) serta meningkatkan status psikososial lansia diabetisi dan keluarganya berkaitan dengan kepercayaan dan sikap terhadap program pengobatan dan mekanisme koping (Padgett et al., 1988; Brown, 1990). Menurut Badruddin et al. (2002), diabetisi yang diberikan pendidikan dan pedoman dalam perawatan diri akan meningkatkan pola hidupnya yang dapat mengontrol gula darah dengan baik. Badruddin et al. sekaligus mengingatkan bahwa pendidikan kesehatan akan lebih efektif bila petugas kesehatan mengenal tingkat pengetahuan, sikap dan kebiasaan sehari-hari klien tersebut.

Selanjutnya, intervensi DSME yang dapat meningkatkan aspek kognisi dan afeksi diabetisi dan keluarganya secara simultan akan mempengaruhi peningkatan perilaku sehat diabetisi. Perilaku sehat tersebut terdiri dari monitoring kadar gula darah secara mandiri, perencanaan makan (diet), latihan jasmani dan istirahat yang cukup, konsumsi obat hipoglikemik, dan menghindari rokok. Hasil jangka pendek yang diharapkan adalah terkontrolnya tekanan darah (<140/90>

Skema 1. Kerangka pikir Model Diabetes Self-Management Education

Bentuk oval adalah intervensi, kotak dengan sudut lengkung mengindikasikan sebagai hasil antara, dan kotak dengan sudut lancip adalah hasil jangka pendek dan jangka panjang. Sumber : Norris SL, Nichols PJ,
Caspersen CJ, Glasgow RE, Engelgau MM, Jack L, et al. (2002)

Jack, et al. (1999) berdasarkan studi review sistematis selanjutnya menyimpulkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi pelaksanaan intervensi DSME dalam konteks komunitas, adalah : faktor komunitas, organisasi, lingkungan fisik, lingkungan sosial, dukungan sosial (keluarga dan jejaring sosial), dan faktor individu (psikologis, biomedis, dan perilaku) (lihat skema 2). Faktor-faktor komunitas, terdiri dari: sosial budaya, sumber daya masyarakat, dan nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat. Faktor organisasi yang berpengaruh yaitu pemerintah, sekolah, lembaga swadaya masyarakat, pelayanan kesehatan, dan swasta. Faktor lingkungan fisik terdiri dari lingkungan di dalam dan luar rumah, fasilitas publik, dan sarana transportasi. Faktor lingkungan sosial terdiri dari norma sosial, ekosistem, kondisi ekonomi, budaya setempat, dan kebijakan publik. Faktor dukungan sosial dari keluarga dan sosial. Faktor individu terdiri dari tiga aspek, yaitu kondisi psikologis, biomedis, dan perilaku.

Skema 2. Faktor-faktor yang mempengaruhi Diabetes Self-Management Education

C. Implikasi DSME dalam keperawatan komunitas

  1. Peran perawat komunitas adalah mendorong kemandirian lansia diabetisi dan keluarga melalui peningkatan pengetahuan dan ketrampilan pengelolaan DM sehingga keluhan dan gejala penyakit DM berkurang serta mencegah komplikasi akut dan kronis yang dapat menyerang pembuluh darah, jantung, ginjal, mata, syaraf, kulit, kaki, dan sebagainya sehingga kualitas hidup lansia diabetisi lebih optimal.
  2. Intervensi keperawatan DSME pada kelompok khusus dapat diimplementasikan pada posbindu atau kelompok lansia diabetisi.
  3. Pendekatan komunikasi terapeutik dapat berperan sebagai pembangun struktur komunikasi yang terapeutik, sehingga klien akan mudah memahami dan melaksanakan program pengobatan yang telah direncanakan untuknya.
  4. Intervensi keperawatan DSME diberikan untuk menjaga stabilitas klien, ketersediaan sumber energi sistem, dan dukungan terhadap klien untuk mencapai derajat kesehatan yang optimal.
  • Prevensi primer, antara lain deteksi dini DM maupun adanya risiko komplikasi DM, pemeriksaan teratur kadar gula darah secara mandiri, perawatan kaki, latihan kaki dan perencanaan makan (diet). Prevensi primer termasuk melakukan strategi promosi kesehatan bilamana faktor risiko telah terdekteksi namun reaksi klien belum muncul.
  • Prevensi sekunder, yaitu konsumsi obat hipoglikemik sesuai dosis pengobatan.
  • Prevensi tersier, yaitu latihan jasmani secara teratur, istirahat yang cukup, menghindari stress, dan menghindari rokok.

D. Penutup

1. Simpulan

Perawat komunitas memiliki peran yang penting guna mendorong masyarakat terutama lansia untuk mampu memahami kondisinya sehingga dapat melakukan perawatan diri secara mandiri (self-care) melalui intervensi DSME. Intervensi DSME berupaya untuk meningkatkan aspek kognisi, afektif dan ketrampilan pengelolaan DM lansia diabetisi dan keluarganya sehingga keluhan dan gejala penyakit DM berkurang serta mencegah komplikasi akut dan kronis sehingga diharapkan kualitas hidup lansia diabetisi dapat lebih optimal.

Pada tahapan ini, perawat komunitas perlu meningkatkan perannya dengan mengambil titik awal pada pemberdayaan kesehatan keluarga. Perawatan komunitas yang berfokus pada keluarga memiliki makna strategis dan berbagai manfaat, yaitu : meningkatnya tanggungjawab sektor publik terhadap peningkatan kesehatan komunitas (Weiner, 2000), pembiayaan perawatan di rumah lebih mudah dikendalikan (Cuellar & Weiner, 2000), serta perawatan berfokus pada keluarga lebih efektif dan bermanfaat bagi kesehatan komunitas (Weissert &amp;amp;amp;amp; Hedrick, 1994; Weissert et al., 1997; Breakwell, 2004).

2. Saran

  • Perawat komunitas perlu meningkatkan ketrampilan DSME dan komunikasi terapeutik untuk meningkatkan ketaatan lansia diabetisi dan keluarganya dalam pengelolaan diabetes.
  • Perawat komunitas perlu menentukan indikator keberhasilan intervensi DSME dalam lingkup keluarga maupun komunitas melalui performa aktivitas sehari-hari, pencapaian tujuan intervensi keperawatan, perawatan mandiri, adaptasi, dan partisipasi klien dalam kehidupan sosialnya.
  • Perawat komunitas harus mampu mengenal dan mengidentifikasikan faktor-faktor yang mempengaruhi pelaksanaan DSME di tingkat keluarga maupun komunitas.
  • Perawat komunitas harus mampu menggali dan mengelola kekuatan keluarga, sumber daya keluarga serta supra sistem keluarga dalam pelaksanaan DSME.

Referensi :

  1. Almatsier, S. (Ed). (2006). Penuntun Diet Edisi Baru Instalasi Gizi Perjan RS Dr. Cipto Mangunkusumo dan Asosiasi Dietisien Indonesia. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
  2. American Diabetes Association. (1998). Economic consequences of diabetes mellitus in the U.S. in 1997. Diabetes Care, 21:296–309.
  3. American Diabetes Association. (2001a). Standards of medical care for patients with diabetes mellitus (Position Statement). Diabetes Care, 24 (Suppl. 1):S33–S43.
  4. American Diabetes Association. (2001b). Tests of glycemia in diabetes (Position Statement). Diabetes Care 24 (Suppl. 1):S80–S82.
  5. Badruddin, N., Basit, A., Hydrie, M.Z.I., & Hakeem, R., (2002). Knowledge, Attitude and Practices of Patients Visiting a Diabetes Care Unit, Pakistan Jou of Nut, 1(2): 99-102.
  6. Bartlett, E. (1986). Historical glimpses of patient education in the United States. Patient Educ Counsel, 8:135–149.
  7. Breakwell, S. (2004). Connecting New Nurses and Home Care. Home Health Care Management & Practice, 16(2): 117-21.
  8. Brown, S. (1990). Studies of educational interventions and outcomes in diabetic adults: a meta-analysis revisited. Patient Educ Counsel, 16:189 –215.
  9. Clement, S., (1995). Diabetes self-management education. Diabetes Care, 18:1204–1214.
  10. Cuellar, AE & J. Weiner. 2000. Can Social Insurance for Long-Term Care Work? The Experience of Germany. Health Affairs 19(3): 8-25.
  11. Elshaw, EB, Young, EA, Saunders, MJ, McGurn, WC, Lopez, LC. (1994). Utilizing a 24-hour dietary recall and culturally specific diabetes education in Mexican Americans with diabetes. Diabetes Educ., 20:228-35. [PMID: 7851238]
  12. Feeley, N. & Gottlieb, L.N. (2000). Nursing Approaches for Working With Family Strengths and Resources. Journal Of Family Nursing, 6(1), 9-24.
  13. Fernando, D. (1993). Knowledge about diabetes and metabolic control in diabetic patients. Ceylon Med J 38:18 –21.
  14. Funnell, M., Anderson, R., Arnold, M., Barr, P., Donnelly. M., Johnson, P. (1991). Empowerment: an idea whose time has come in diabetes education. Diabetes Educ, 17:37–41.
  15. Glasgow, R., & Anderson R,. (1999). In diabetes care, moving from compliance to adherence is not enough: something entirely different is needed. Diabetes Care, 22:2090–2091.
  16. Harris, MI., Eastman, RC., Cowie, CC., Flegal, KM., & Eberhardt, MS. (1999). Racial and ethnic differences in glycemic control of adults with type 2 diabetes. Diabetes Care, 22:403–408.
  17. Jack Jr., L., Liburd, L., Spencer, T., & Airhihenbuwa, C.O. (2004).Understanding the Environmental Issues in Diabetes Self-Management Education Research: A Reexamination of 8 Studies in Community-Based Settings. Ann Intern Med., 140:964-971.
  18. Jack, L. Jr, Liburd, L., Vinicor, F., Brody, G., & Murry, VM. (1999). Influence of the environmental context on diabetes self-management: a rationale for developing a new research paradigm in diabetes education. Diabetes Educ., 25:775-7, 779-80, 782 passim. [PMID: 10646474]
  19. Lawrence, JM., Bennett, P., Young, A., & Robinson, AM . (2001). Screening for diabetes in general practice: cross sectional population study. BMJ, 323: 548-551.
  20. Mapanga, K.G. & Mapanga, M.B. (2004).A Community Health Nursing Perspective of Home Health Care Management and Practice. Home Health Care Management & Practice, 16(4): 271-279.
  21. Norris, S.L., Engelgau, M.M., & Narayan, K.M.V., (2001). Effectiveness of Self-Management Training in Type 2 Diabetes A systematic review of randomized controlled trials. Diabetes Care, 24(3): 561-587.
  22. Norris, S.L., Lau, J., Smith, S.J., Schmid, C.H., & Engelgau, M.M. (2002). Self-Management Education for Adults With Type 2 Diabetes A meta-analysis of the effect on glycemic control. Diabetes Care, 25:1159–1171.
  23. Norris SL, Nichols PJ, Caspersen CJ, Glasgow RE, Engelgau MM, Jack L, et al. (2002). Increasing diabetes self-management education in community settings. A systematic review. Am J Prev Med., 222(4 Suppl):39-66. [PMID: 11985934]
  24. Padgett, D., Mumford, E., Hynes, M., & Carter, R. (1988), Meta-analysis of the effects of educational and psycholosocial interventions on management of diabetes mellitus. J Clin Epidemiol, 41:1007–1030.
  25. Palestin, B., Ermawan, B., & Donsu, JDT. (2005). Penerapan Komunikasi Terapeutik Untuk Mengoreksi Perilaku Klien Rawat Jalan Dengan Diabetes Mellitus, Jurnal Teknologi Kesehatan 1(1): 1-10.
  26. Parmet, S., (2004). Weight Gain and Diabetes. JAMA, 292(8): 998.
  27. Stevens, LM. (2002). The ABCs of Diabetes. JAMA, 287(19): 2608.
  28. Soewondo, P. (2006). Hidup Sehat dengan Diabetes. Panduan bagi penyandang diabetes, keluarganya dan petugas kesehatan. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
  29. Tagliacozzo D.M., Luskin D.B., Lashof J.C. & Ima K., Nurse Intervention and Patient Behavior, Am. Jou. Public Health 1974, Vol. 64 No. 6.
  30. Task Force to Revise the National Standards. (1995). National standards for diabetes self-management education programs. Diabetes Educ, 21:189–193.
  31. Thomas Mandrup­Poulsen. (1998).Recent advances Diabetes. BMJ, 316: 1221-1225.
  32. Toobert, D.J., Glasgow, R.E., Strycker, L.A., Barrera Jr., M., Radcliffe, J.L., Wander, R.C., & Bagdade, J.D.(2003). Biologic and Quality-of-Life Outcomes From the Mediterranean Lifestyle Program A randomized clinical trial. Diabetes Care,26:2288–2293.
  33. Weerdt, I., Visser, A., & Veen, E. (1989). Attitude behavior theories and diabetes education programmes. Patient Educ Counsel, 14:3–19.
  34. Weiner, J. (2000). Prediction: Long-Term Care in the Next Decade. Caring Magazine (June): 16-8.
  35. Weissert, W & SC Hedrick. (1994). Lessons Learned from Research on Effects of Community-Based Long-Term Care. Journal of the American Geriatrics Society 42: 348-53.
  36. Weissert, W, T Lesnick, M Musliner, & K Foley. (1997). Cost Savings from Home and Community-Based Services: Arizona’s Capitated Medicaid Long-Term Care Program. Journal of Health Politics, Policy and Law 22(6): 1329-57.

Baca selengkapnya...