Perawatan Restoratif Untuk Mencegah Gagal-Pulih Pada Lanjut Usia di Masyarakat
Penuaan adalah suatu proses akumulasi dari kerusakan sel somatik yang diawali oleh adanya disfungsi sel hingga terjadi disfungsi organ dan pada akhirnya akan meningkatkan risiko kematian bagi seseorang. Apabila dilihat dari sudut pandang yang lebih luas, proses penuaan merupakan suatu perubahan progresif pada organisme yang telah mencapai kematangan intrinsik dan bersifat irreversibel serta menunjukkan adanya kemunduran sejalan dengan waktu. Corak perkembangan proses penuaan bersifat lambat namun dinamis dan bersifat individual baik secara fisiologis maupun patologis, karena banyak dipengaruhi oleh riwayat maupun pengalaman hidup di masa lalu yang terkait dengan faktor biologis, psikologis, spiritual, fungsional, lingkungan fisik dan sosial. Perubahan struktur dan penurunan fungsi sistem tubuh tersebut diyakini memberikan dampak yang signifikan terhadap gangguan homeostasis sehingga lanjut usia mudah menderita penyakit yang terkait dengan usia --misalnya: stroke, Parkinson, dan osteoporosis-- dan berakhir pada kematian. Penuaan patologis dapat menyebabkan disabilitas pada lanjut usia sebagai akibat dari trauma, penyakit kronis, atau perubahan degeneratif yang timbul karena stres yang dialami oleh individu. Stres tersebut dapat mempercepat penuaan dalam waktu tertentu, selanjutnya dapat terjadi akselerasi proses degenerasi pada lanjut usia apabila menimbulkan penyakit fisik.
Proses penuaan terjadi secara linier dan dapat digambarkan melalui tiga tahap, yaitu: (1) kelemahan (impairment), (2) ketidakmampuan (disability), dan (3) kecacatan (handicap) yang akan dialami bersamaan dengan munculnya sindroma gagal-pulih (frailty). Proses gagal-pulih sejalan dengan adanya penurunan kapasitas fungsional yang dapat berkembang menjadi masalah kesehatan serius apabila aksesibilitas dan utilitas skrining kesehatan bagi lanjut usia masih tetap rendah. Gagal-pulih pada lanjut usia merupakan akibat dari bertambahnya umur seseorang dan proses kemunduran yang diikuti dengan munculnya gangguan fisiologis, penurunan fungsi, gangguan kognitif, gangguan afektif, dan gangguan psikososial. Kondisi tersebut dapat mengganggu lanjut usia dalam memenuhi kebutuhan aktivitas sehari-harinya. Lanjut usia yang mengalami gangguan mood akan mengakibatkan kesulitan dalam memenuhi aktivitas kehidupan sehari-harinya (AKS) atau activities of daily living (ADL). Sebaliknya, keterbatasan dalam memenuhi AKS dapat menjadi salah satu faktor penyebab munculnya depresi pada lanjut usia.
Penelitian di Thailand memperlihatkan bahwa prevalensi disabilitas pada lanjut usia sebesar 19% (95%IK 17,8–20,2) dan ketergantungan terhadap pemenuhan AKS sebesar 6,9% (95%IK 6,1 – 7,7). Angka ketidakmampuan (disabilities rate) meningkat sesuai dengan perkembangan usia. Kapasitas fungsional wanita lebih rendah bila dibandingkan pria atau prevalensi kebutuhan untuk mendapatkan bantuan AKS pada wanita selama 21,3 tahun dan pria selama 18,6 tahun. Meskipun informasi mengenai angka penurunan kapasitas fungsional lanjut usia di Indonesia belum memadai, namun Palestin, Olfah dan Winarso (2005) melaporkan 77,4% lanjut usia di sebuah Panti Wredha sebelum diintervensi masih dibantu sebagian dalam memenuhi AKS-nya.
Para ahli telah sepakat menggunakan parameter AKS untuk mengukur kapasitas fungsional seseorang dengan mengklasifikasikannya berdasarkan kepemilikan ketergantungan dalam beraktivitas sehari-hari, misalnya : mandi, memakai baju, berjalan, kebersihan diri, mobilisasi. Kapasitas fungsional merupakan kondisi kesehatan fisik yang sangat penting bagi kualitas hidup dan kesejahteraan lanjut usia. Adanya penurunan kapasitas fungsional dipengaruhi oleh berjalannya proses penuaan, multi penyakit , dan gangguan psikososial. Kondisi di atas juga dapat terjadi secara berangsur-angsur sebagai akibat dari anggota ekstrimitas tidak difungsikan atau tidak dilatih secara optimal.
Intervensi kesehatan dan keperawatan dalam bentuk latihan fungsional serta dukungan lingkungan yang positif bagi lanjut usia dapat memelihara kapasitas fungsional dan kualitas hidup lanjut usia. Latihan fungsional dengan intensitas sedang dapat meningkatkan kualitas hidup, vitalitas, dan menurunkan gejala depresi pada lanjut usia secara efektif. Menurut penelitian, program latihan berjalan, mobilitas, dan keseimbangan fleksibel dan statis selama enam minggu dapat meningkatkan kapasitas fungsional lanjut usia. Bentuk program latihan yang memiliki daya ungkit cukup besar terhadap penurunan sindroma gagal-pulih pada lanjut usia adalah perawatan restoratif. Perawatan restoratif merupakan salah satu strategi utama dalam mengatasi sindroma gagal-pulih untuk meningkatkan luaran status kesehatan klien, dan merupakan bentuk intervensi keperawatan yang paling efektif saat ini untuk meningkatkan otonomi dan kemandirian klien.
Sindroma gagal-pulih
Sindroma gagal-pulih adalah suatu kondisi tubuh sebagai akibat dari menurunnya kapasitas multisistem yang berisiko tinggi terhadap timbulnya berbagai penyakit, trauma atau kondisi kesehatan negatif lainnya namun kondisi tersebut dapat dicegah melalui intervensi tertentu. Contoh bentuk gagal-pulih, antara lain: perawatan diri yang tidak terpelihara karena kelemahan dan keletihan (fatigue) atau seseorang yang sering jatuh karena gaya berjalan yang tidak seimbang atau kelemahan. Gejala-gejala sindroma gagal-pulih, antara lain: (1) penurunan berat badan secara progresif, (2) kecepatan berjalan melambat, (3) kekuatan cengke-raman tangan menurun, (4) keletihan atau daya tahan menurun, dan (5) tingkat aktivitas fisik yang rendah. Apabila seseorang menunjukkan tiga gejala atau lebih disebut “gagal-pulih”, apabila hanya menunjukkan satu atau dua gejala disebut “pregagal-pulih”, sedangkan tidak menujukkan gejala apapun disebut “tak gagal-pulih”. Ketiga level tersebut tergantung pada usia, kondisi penyakit kronis, fungsi kognitif, dan gejala depresif.
PERAWATAN RESTORATIF
Sindroma gagal-pulih dianggap sebagai prediktor kejadian jatuh, hospitalisasi, disabilitas yang memburuk dan kematian pada lanjut usia.14 Deteksi dini dan intervensi prevensi primer untuk mengatasi gejala yang timbul dapat mencegah atau menunda timbulnya gagal-pulih. Bentuk intervensi tersebut adalah metode perawatan restoratif atau perawatan pemulihan (restorative care). Perawatan restoratif merupakan bentuk intervensi keperawatan yang berfokus pada upaya membantu lanjut usia dalam proses pemulihan dan atau pemeliharaan kapasitas fungsional fisiknya serta memberikan bantuan agar lanjut usia dapat mengkompensasikan kemunduran fungsional fisiknya sehingga mampu mencapai derajat fungsional yang optimal dan mampu melakukan AKS secara mandiri, misalnya : mandi, memakai baju, berjalan, dan kegiatan lainnya. Perawatan restoratif sebenarnya telah dikembangkan di era 1950-an, namun mulai diperbincangkan kembali dalam praktik keperawatan di Amerika Serikat pada tahun 1998 untuk mengkalkulasi standar pembayaran jasa pelayanan keperawatan pada program pemulihan pasien di rumah sakit maupun institusi pelayanan keperawatan lainnya. Perawatan restoratif bukanlah terapi yang bertujuan untuk mengurangi keterbatasan atau kecacatan (limitation) lanjut usia, meskipun hasil dari upaya pemulihan kapasitas tidak sepenuhnya sama seperti kondisi sediakala.
Perawatan restoratif menitikberatkan pada upaya preventif terhadap meluasnya dampak ketergantungan fisik, menurunnya aktivitas dan keterbatasan mobilitas. Oleh karena itu, perawatan restoratif digunakan untuk memaksimalkan kemampuan lanjut usia (ability) melalui peningkatan mekanisme self-care, kemandirian, kualitas hidup, gambaran diri (self-image) dan harga diri (self-esteem). Menurut Resnick (2004), terminologi perawatan restoratif berbeda dengan perawatan rehabilitasi (rehabilitation nursing). Perawatan rehabilitasi lebih berfokus pada upaya rehabilitasi seseorang sebagai akibat dari terjadinya penyakit atau cedera, misalnya: strok, fraktur panggul, atau dislokasi sendi. Tujuan yang ingin dicapai melalui rehabilitasi ditetapkan bersama oleh tim rehabilitasi yang terdiri dari banyak profesi (misalnya: dokter, perawat, psikolog, dokter gigi, fisioterapis, okupasiterapis, prostetik dan ortetik, terapis wicara, dan ahli gizi), namun target hasil intervensi sangat erat kaitannya dengan indikator medis.
Aplikasi perawatan restoratif merupakan intervensi keperawatan yang bertujuan untuk meningkatkan kapasitas fungsional dengan jalan melatih klien melakukan AKS secara mandiri dan terstruktur. Berbagai studi intervensi yang bertujuan untuk meningkatkan AKS memperlihatkan bahwa penurunan kapasitas fungsional lanjut usia dapat distabilkan atau dikurangi meskipun tidak dapat pulih seperti sediakala. Hasil pemulihan kapasitas fungsional lanjut usia tergantung dari pola dan jenis intervensi perawatannya, oleh karenanya perlu diberikan jenis intervensi yang spesifik dan efektif sesuai dengan permasalahannya.
Kelebihan perawatan restoratif adalah metode ini memiliki teknik yang sederhana dan mudah dilakukan oleh siapapun. Sehingga perawatan restoratif dapat dilakukan oleh asisten perawat, keluarga atau orang-orang terdekat klien yang telah dilatih namun tetap dalam pengawasan perawat. Sebuah penelitian telah mengkomparasikan manfaat model perawatan restoratif yang diberikan secara individu dengan pendekatan keperawatan pada umumnya. Penelitian tersebut menunjukkan bahwa perawatan restoratif memiliki kemungkinan lanjut usia untuk tetap tinggal di rumah lebih besar (82% vs 71%; odds ratio [OR]= 1,99; 95%CI = 1,47-2,69), menurunkan kemungkinan dirujuk ke unit gawat darurat (10% vs 20%; OR = 0,44; 95% CI = 0,32-0,61), lama perawatan di rumah lebih pendek (mean [SD]= 24,8 [26,8] hari vs 34,3 [44,2] hari; p < p =" 0,07" p =" 0,05" p =" 0,02">
Perawatan restoratif memiliki manfaat yang lebih besar terhadap luaran kapasitas fisik dan psikologis lanjut usia dibandingkan dengan intervensi keperawatan yang konservatif. Menurut laporan Sacre, implementasi perawatan restoratif telah meningkatkan kapasitas fungsional terhadap 86% lanjut usia yang dirawat di panti jompo pada dua minggu pertama perawatan mereka. Tujuan utama perawatan restoratif, adalah : (1) meningkatkan mobilitas fisik yang optimal, (2) meningkatkan atau menjaga kekuatan dan koordinasi otot, (3) meningkatkan pengawasan diri, (4) mencegah kontraktur, (5) meningkatkan kemandirian AKS atau perawatan diri, (6) mencegah terjadinya cedera, (7) meningkatkan aktivitas sosial, (8) meningkatkan kepekaan terhadap pencapaian prestasi (sense of accomplishment), (9) mencegah isolasi sosial dan depresi, (10) meningkatkan kemampuan motorik, (11) meningkatkan kemampuan berkomunikasi, (12) meningkatkan kesempatan untuk melakukan aktivitas yang berarti, (13) meningkatkan martabat dan peran sosial, dan (14) meningkatkan moralitas dan kepuasan dalam bekerja.
Beberapa hal yang perlu diperhatikan oleh perawat di saat memberikan perawatan restoratif, adalah : (1) pahami bahwa setiap lanjut usia memiliki keunikan kapasitas dan keterbatasan fisik, kaji kapasitas dalam merawat diri, status mental, motivasi, dan dukungan keluarga; (2) prioritas intervensi lebih difokuskan pada kapasitas yang telah dimiliki atau yang lebih mudah untuk dipulihkan; (3) sesuaikan waktu latihan dengan kebiasaan lanjut usia; (4) berikan penghargaan/pujian apabila lanjut usia mampu melakukan latihan dengan lebih baik; (5) pemberian latihan sesuaikan dengan kondisi penyebab gagal-pulih, apakah disebabkan disabilitas fisik atau disabilitas mental; (6) hindarkan adanya komplikasi atau hal-hal yang berisiko, misalnya cedera, isolasi social, depresi); (7) dorong optimisme dengan harapan yang lebih baik dan rasa humor; dan (8) upaya pemulihan sangat bergantung pada proses individu dan dukungan tim kesehatan lainnya.
Disampaikan dalam Temu Ilmiah Geriatri
1 Comments:
artikel anda bagus dan menarik, artikel anda:
http://penuaan.infogue.com
http://penuaan.infogue.com/perawatan_restoratif_untuk_mencegah_gagal_pulih_pada_lanjut_usia
anda bisa promosikan artikel anda di www.infogue.com yang akan berguna untuk semua pembaca. Telah tersedia plugin/ widget vote & kirim berita yang ter-integrasi dengan sekali instalasi mudah bagi pengguna. Salam!
Post a Comment
<< Home