Pembedayaan Suami Melalui Reorientasi & Revitalisasi Gerakan Sayang Ibu
Pemerintahan yang lalu telah mencanangkan Gerakan Sayang Ibu (GSI) pada tanggal 22 Desember 1996. Dengan gerakan tersebut diharapkan Angka Kematian Ibu (AKI) yang pada akhir pelita keenam sebesar 225 per 100.000 kelahiran hidup menurun menjadi 80 per 100.000 kelahiran hidup pada tahun 2018 atau pada akhir Pembangunan Jangka Panjang Kedua (Abdullah Cholil et al, 1998). GSI bermaksud untuk memberdayakan masyarakat dan pemerintah agar ikut berpartisipasi dalam upaya meningkatkan kualitas hidup wanita terutama dalam percepatan penurunan angka kesakitan dan kematian ibu yang selanjutnya sebagai investasi untuk mempersiapkan sumber daya manusia yang lebih sehat dan berkualitas. Seperti halnya gerakan-gerakan yang telah banyak dicanangkan selama ini, setelah kurang lebih 4 tahun berjalan, ternyata gaung gerakan tersebut kian melemah dan akhirnya mati. Nampaknya, semua gerakan tersebut, termasuk GSI merupakan kegiatan yang bersifat top down, berorientasi pada proyek dan kurang aspiratif pada kebutuhan masyarakat lokal atau dapat dikatakan kurang menyentuh dan menjawab persoalan mendasar yang lebih dianggap sebagai prioritas kebutuhan masyarakat setempat. Sehingga dalam perjalanannya tidak panjang dan langgeng. Oleh karena itu kegiatan yang telah ada perlu dilakukan reorientasi dan revitalisasi agar GSI dapat berlanjut dan langgeng. Perkembangan program perlindungan kesehatan reproduksi wanita tidak lepas dari peranan sang suami oleh karena itu target utama GSI di tingkat keluarga adalah pemberdayaan suami agar lebih perhatian terhadap istri. Upaya untuk meningkatkan partisipasi suami tersebut perlu dicari terobosan baru dengan memperhatikan faktor-faktor spesifik yang mempengaruhinya sehingga dapat menimbulkan kesadaran dan kemauan dari para suami untuk lebih memberdayakan dirinya dalam berbagi tanggung jawab (sharing responsibility) hal-hal yang biasa dilakukan oleh istrinya. Beberapa faktor yang mempengaruhi partisipasi suami dalam perlindungan kesehatan reproduksi istri (ibu), antara lain adalah : Budaya Di berbagai wilayah di Indonesia terutama di dalam masyarakat yang masih tradisional (patrilineal) menganggap istri adalah konco wingking, yang artinya bahwa kaum wanita tidak sederajat dengan kaum pria, dan wanita hanyalah bertugas untuk melayani kebutuhan dan keinginan suami saja. Anggapan seperti ini mempengaruhi perlakuan suami terhadap kesehatan reproduksi istri, misal : suami lebih dominan dalam mengambil keputusan dan tidak berbagi tanggung jawab dalam ber-KB; kualitas dan kuantitas makanan yang lebih baik dibanding istri maupun anak karena menganggap suamilah yang mencari nafkah dan sebagai kepala rumah tangga sehingga asupan zat gizi mikro untuk istri kurang; suami tidak empati dan peduli dengan keadaan ibu yang sedang hamil maupun menyusui anak, dan lain-lain. Menurut penulis ada beberapa cara untuk merubah budaya tersebut, yaitu antara lain :
Pendapatan Pada masyarakat kebanyakan, 75% - 100% penghasilannya dipergunakan untuk membiayai keperluan hidupnya bahkan banyak keluarga rendah yang setiap bulan bersaldo kurang. Persoalan ekonomi keluarga merupakan prioritas utama dalam pemenuhannya sehingga semua krisis yang seharusnya ditanggulangi di tingkat keluarga pada akhirnya kalah dengan prioritas kebutuhan hidupnya sehari-hari, misalnya ibu hamil tidak diperiksakan ke pelayanan kesehatan karena tidak mempunyai kemampuan untuk membayar. Atas dasar faktor tersebut di atas maka prioritas kegiatan GSI di tingkat keluarga dalam pemberdayaan suami tidak hanya terbatas pada kegiatan yang bersifat anjuran (advocacy) saja seperti yang ada selama ini, akan tetapi lebih bersifat holistik. Kegiatan tersebut diharapkan tidak saja menjawab permasalahan kesehatan ibu secara Nasional akan tetapi yang lebih penting dapat menyentuh dan ikut menyelesaikan persoalan mendasar di tingkat keluarga yaitu ekonomi sehingga gerakan tersebut bukan hanya sebagai keinginan tetapi lebih sebagai kebutuhan karena ikut membantu meningkatkan ekonomi keluarga. Secara konkrit dapat dikemukakan bahwa pemberdayaan suami perlu dikaitkan dengan pemberdayaan ekonomi keluarga sehingga kepala keluarga tidak mempunyai alasan untuk tidak memperhatikan kesehatan istrinya karena permasalahan keuangan. Pemberdayaan ekonomi keluarga dengan jalan membentuk kelompok usaha yang didasarkan pada sumber daya yang tersedia di sekitarnya serta mencari solusi pemasarannya sekaligus (misal : kelompok usaha gula merah, alat rumah tangga, pertanian, perkebunan, dan lain-lain). Tingkat pendidikan Tingkat pendidikan akan mempengaruhi wawasan dan pengetahuan suami sebagai kepala rumah tangga. Semakin rendah pendidikan suami maka akses terhadap informasi kesehatan istrinya akan berkurang sehingga suami akan kesulitan untuk mengambil keputusan secara efektif. Akhirnya, pandangan baru yang perlu diperkenalkan dan lebih disosialisasikan kembali untuk memberdayakan kaum suami mendasarkan pada pengertian bahwa :
Semarang, Maret 2000 KEPUSTAKAAN: Abdullah Cholil, Meiwita B. Iskandar, Rosalia Sciortino, “The Life Saver : The Mother Friendly Movement in Indonesia”, The State Ministry for the Role of Women, Republic of Indonesia and the Ford Foundation, Jakarta, 1998. |
0 Comments:
Post a Comment
<< Home