PERAWAT KOMUNITAS SEBAGAI PERAWAT EDUKATOR DIABETES
Perawat komunitas sebagai edukator diabetes memiliki dua tingkat, yaitu perawat generalis dan perawat spesialis. Helvie (1998) berpendapat bahwa perawat generalis memiliki latar belakang pendidikan S1 dengan batasan kompetensi pada asuhan keperawatan diabetisi di tingkat individu dan keluarga. Sedangkan menurut Ervin (2002), batasan kompetensi perawat generalis pada asuhan keperawatan diabetisi di tingkat individu, keluarga, kelompok dan ketrampilan dasar menangani agregat diabetisi. Helvie dan Ervin sepakat bahwa perawat spesialis dengan latar belakang pendidikan master (S2) dan doktoral (S3) harus memiliki kompetensi klinis dan mengelola agregat diabetisi dari tingkat individu sampai dengan populasi. Seorang spesialis keperawatan komunitas harus mampu melakukan perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi program serta pelayanan kesehatan bagi agregat diabetisi di tingkat populasi.
Karakteristik keperawatan komunitas sebagai perawat edukator diabetes
Keperawatan komunitas dalam konteks asuhan keperawatan pada agregat lansia diabetisi memiliki beberapa karakteristik, yaitu: (1) berfokus pada populasi lansia baik yang sehat maupun yang berisiko menderita DM; (2) berorientasi pada peningkatan peran serta aktif lansia dalam pengelolaan DM secara mandiri; (3) berfokus pada upaya promotif dan preventif baik pencegahan primer, sekunder dan tersier; (4) intervensi pendidikan kesehatan dalam pengelolaan diabetes secara mandiri (PKPDM) di tingkat komunitas atau populasi; dan (5) memiliki perhatian terhadap peningkatan derajat kesehatan pada semua kelompok umur terutama kelompok berisiko DM (Stanhope & Lancaster, 2004). Selanjutnya spesialis keperawatan komunitas memiliki enam area pokok praktik keperawatan dalam pendekatan PKPDM, yaitu: (1) upaya promosi kesehatan melalui gaya hidup sehat; (2) upaya pencegahan primer, sekunder dan tersier pada agregat diabetisi; (3) intervensi keperawatan lansia diabetisi; (4) rehabilitasi lansia diabetisi dengan permasalahan khusus, misalnya pasca hospitalisasi atau penurunan kapasitas fungsional; (5) evaluasi program PKPDM di tingkat populasi; dan (6) riset keperawatan tentang lansia diabetisi (Allender & Spradley, 2005).
Strategi Intervensi dan Pengorganisasian Masyarakat
Strategi intervensi keperawatan komunitas dalam pendekatan PKPDM adalah (1) kemitraan (partnership), (2) pemberdayaan (empowerment), (3) pendidikan kesehatan, dan (4) proses kelompok (Hitchcock, Schubert, & Thomas 1999; Helvie, 1998). Strategi intervensi pendidikan kesehatan dalam pengelolaan diabetes secara mandiri juga diuraikan pada bagian berikut:
Asumsi dasar mekanisme kolaborasi perawat spesialis komunitas dengan masyarakat tersebut adalah hubungan kemitraan yang dibangun memiliki dua manfaat sekaligus yaitu meningkatnya partisipasi aktif masyarakat dan keberhasilan program kesehatan masyarakat (Kreuter, Lezin, & Young, 2000). Mengikutsertakan masyarakat dan partisipasi aktif mereka dalam pembangunan kesehatan dapat meningkatkan dukungan dan penerimaan terhadap kolaborasi profesi kesehatan dengan masyarakat (Schlaff, 1991; Sienkiewicz, 2004). Dukungan dan penerimaan tersebut dapat diwujudkan dengan meningkatnya sumber daya masyarakat yang dapat dimanfaatkan, meningkatnya kredibilitas program kesehatan, serta keberlanjutan kemitraan perawat spesialis komunitas dengan masyarakat (Bracht, 1990).
Kemitraan dalam PKPDM dapat dilakukan perawat komunitas melalui upaya membangun dan membina jejaring kemitraan dengan pihak-pihak yang terkait (Robinson, 2005) dalam upaya penanganan DM pada lansia diabetisi baik di level keluarga, kelompok, maupun komunitas. Pihak-pihak tersebut adalah profesi kesehatan lainnya, stakes holder (Puskesmas, Dinas Kesehatan Kota, Departemen Kesehatan, Departemen Sosial, Pemerintah Kota), donatur/sponsor, sektor terkait, organisasi masyarakat (TP-PKK, Lembaga Lansia Indonesia/LLI, Perkumpulan Diabetisi, atau Klub Jantung Sehat Yayasan Jantung Indonesia), dan tokoh masyarakat setempat.
Kedua, konsep pemberdayaan dapat dimaknai secara sederhana sebagai proses pemberian kekuatan atau dorongan sehingga membentuk interaksi transformatif kepada masyarakat, antara lain: adanya dukungan, pemberdayaan, kekuatan ide baru, dan kekuatan mandiri untuk membentuk pengetahuan baru (Hitchcock, Scubert, & Thomas, 1999). Pemberdayaan, kemitraan dan partisipasi memiliki inter-relasi yang kuat dan mendasar. Perawat spesialis komunitas ketika menjalin suatu kemitraan dengan masyarakat maka dirinya juga harus memberikan dorongan kepada masyarakat. Kemitraan yang dijalin memiliki prinsip “bekerja bersama” dengan masyarakat bukan “bekerja untuk” masyarakat, oleh karena itu perawat spesialis komunitas perlu memberikan dorongan atau pemberdayaan kepada masyarakat agar muncul partisipasi aktif masyarakat (Yoo et. al, 2004). Membangun kesehatan masyarakat tidak terlepas dari upaya-upaya untuk meningkatkan kapasitas, kepemimpinan dan partisipasi masyarakat (Nies & McEwan, 2001).
Kemandirian agregat lansia diabetisi dalam PKPDM berkembang melalui proses pemberdayaan. Tahapan pemberdayaan yang dapat dilalui oleh agregat lansia diabetisi (Sulistiyani, 2004), yaitu:
- Tahap penyadaran dan pembentukan perilaku menuju perilaku sadar dan peduli sehingga merasa membutuhkan kemampuan dalam mengelola DM secara mandiri. Dalam tahap ini, perawat komunitas berusaha mengkondisikan lingkungan yang kondusif bagi efektifitas proses pemberdayaan agregat lansia diabetisi.
- Tahap transformasi kemampuan berupa pengetahuan dan ketrampilan dalam pengelolaan DM secara mandiri agar dapat mengambil peran aktif dalam lingkungannya. Pada tahap ini agregat lansia diabetisi memerlukan pendampingan perawat komunitas.
- Tahap peningkatan pengetahuan dan ketrampilan sehingga terbentuk inisiatif dan kemampuan inovatif untuk mengantarkan pada kemandirian mengelola DM. Pada tahap ini lansia diabetisi dapat melakukan apa yang diajarkan secara mandiri.
Ketiga, strategi utama upaya prevensi terhadap kejadian DM adalah dilakukannya kegiatan pendidikan kesehatan. Pendidikan kesehatan bertujuan untuk meningkatkan derajat kesehatan dan mengurangi disabilitas serta mengaktualisasikan potensi kesehatan yang dimiliki oleh individu, keluarga, kelompok, dan masyarakat (Swanson & Nies, 1997). Pendidikan kesehatan dapat dikatakan efektif apabila dapat menghasilkan perubahan pengetahuan, menyempurnakan sikap, meningkatkan ketrampilan, dan bahkan mempengaruhi perubahan di dalam perilaku atau gaya hidup individu, keluarga, dan kelompok lansia diabetisi (Pender, Murdaugh, & Parsons, 2002). Pendidikan kesehatan diharapkan dapat mengubah perilaku lansia diabetisi untuk patuh terhadap saran pengelolaan DM secara mandiri.
Pendidikan kesehatan dapat dilakukan secara individu, kelompok, maupun komunitas. Upaya pendidikan kesehatan di tingkat komunitas penting dilakukan dengan beberapa alasan, yaitu: individu akan mudah mengadopsi perilaku sehat apabila mendapatkan dukungan sosial dari lingkungannya terutama dukungan keluarga, intervensi di tingkat komunitas dapat mengubah struktur sosial yang kondusif terhadap program promosi kesehatan, unsur-unsur di dalam komunitas dapat membentuk sinergi dalam upaya promosi kesehatan (Meillier, Lund, & Kok, 1996).
Intervensi keperawatan melalui pendidikan kesehatan untuk menurunkan risiko DM dan komplikasinya dapat dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu: (1) pencegahan primer, (2) pencegahan sekunder, dan (3) pencegahan tersier. Pendidikan kesehatan dalam tahap pencegahan primer bertujuan untuk menurunkan risiko yang dapat mengakibatkan DM. Pendidikan kesehatan dalam tahap pencegahan sekunder bertujuan untuk memotivasi kelompok berisiko melakukan uji skrining dan penatalaksanaan gejala DM yang muncul, sedangkan pada tahap pencegahan tersier, perawat dapat memberikan pendidikan kesehatan yang bersifat readaptasi, pendidikan kesehatan untuk mencegah komplikasi DM terulang dan memelihara stabilitas kesehatan lansia.
Keempat, proses kelompok merupakan salah satu strategi intervensi keperawatan yang dilakukan bersama-sama dengan masyarakat melalui pembentukan sebuah kelompok atau kelompok swabantu (self-help group). Intervensi keperawatan di dalam tatanan komunitas menjadi lebih efektif dan mempunyai kekuatan untuk melaksanakan perubahan pada individu, keluarga dan komunitas apabila perawat komunitas bekerja bersama dengan masyarakat. Berbagai kelompok di masyarakat dapat dikembangkan sesuai dengan inisiatif dan kebutuhan masyarakat setempat, misalnya Posbindu, Bina Keluarga Lansia, atau Karang Lansia. Kegiatan pada kelompok ini disesuaikan dengan kebutuhan dan tujuan yang ingin dicapai oleh lansia agar lansia dapat mencapai masa tua yang sehat, bahagia, berdaya guna, dan produktif selama mungkin (Depkes RI, 1992).
Menurut penelitian, lansia yang mengikuti secara aktif sebuah kelompok sosial dan menerima dukungan dari kelompok tersebut akan memperlihatkan kondisi kesehatan fisik dan mental yang lebih baik daripada lansia yang lebih sedikit mendapatkan dukungan kelompok (Krause, 1997). Bentuk dukungan kelompok ini juga terkait dengan rendahnya risiko morbiditas dan mortalitas lansia (Berkman, Leo-Summers, & Horwitz, 1992). Meskipun penjelasan risiko morbiditas dan mortalitas tersebut tidak lengkap dikemukakan, beberapa laporan menekankan bahwa dukungan yang diterima lansia dapat meningkatkan pemanfaatan dan kepatuhan individu terhadap pelayanan yang diinginkan dengan mengikuti informasi yang diberikan, ikut serta dalam kelompok dan meningkatkan perilaku mencari bantuan kesehatan (Cohen, 1988).
Berdasarkan strategi intervensi yang telah ditentukan oleh perawat komunitas seperti tersebut di atas, selanjutnya dilakukan pengorganisasian masyarakat. Pengorganisasian masyarakat sebagai suatu proses merupakan sebuah perangkat perubahan komunitas yang memberdayakan individu dan kelompok berisiko (agregat) dalam menyelesaikan masalah komunitas dan mencapai tujuan yang diinginkan bersama. Menurut Helvie (1998), terdapat tiga model pengorganisasian masyarakat yaitu (1) model pengembangan masyarakat (locality development), (2) model perencanaan sosial (social planning), dan (3) model aksi sosial (social action).
Model pengembangan masyarakat didasarkan pada upaya untuk memaksimalkan perubahan yang terjadi di komunitas, di mana masyarakat dilibatkan dan berpartisipasi aktif dalam menentukan tujuan dan pelaksanaan tindakan. Tujuan dari model pengembangan masyarakat adalah (1) agar individu dan kelompok-kelompok di masyarakat dapat berperan-serta aktif dalam setiap tahapan proses keperawatan, dan (2) perubahan perilaku (pengetahuan, sikap dan tindakan) dan kemandirian masyarakat yang dibutuhkan dalam upaya peningkatan, perlindungan dan pemulihan status kesehatannya di masa mendatang (Nies & McEwan, 2001; Green & Kreuter, 1991). Sejalan dengan Mapanga dan Mapanga (2004) tujuan dari proses keperawatan komunitas pada lansia diabetisi adalah meningkatkan kemampuan dan kemandirian fungsional agregat lansia diabetisi melalui pengembangan kognisi dan kemampuan merawat dirinya sendiri. Pengembangan kognisi dan kemampuan agregat lansia diabetisi difokuskan pada dayaguna aktifitas kehidupan, pencapaian tujuan, perawatan mandiri, dan adaptasi lansia diabetisi terhadap permasalahan kesehatan sehingga akan berdampak pada peningkatan partisipasi aktif lansia diabetisi.
Model perencanaan sosial dalam pengelolaan agregat lansia diabetisi lebih menekankan pada teknik menyelesaikan masalah kesehatan agregat lansia diabetisi dari pengelola program lansia di birokrasi, misalnya Dinas Kesehatan atau Puskesmas. Kegiatan bersifat kegiatan top-down planning. Tugas perencana program kesehatan lansia adalah menetapkan tujuan kegiatan, menyusun rencana kegiatan, dan mensosialisasikan rencana tindakan kepada masyarakat. Perencana program harus memiliki kemampuan dan ketrampilan untuk menyelesaikan permasalahan yang kompleks termasuk kemampuan untuk mengorganisasikan lintas sektor terkait.
Model aksi sosial menekankan pada pengorganisasian masyarakat untuk memperjuangkan isu-isu tertentu terkait dengan permasalahan yang sedang dihadapi agregat lansia diabetisi, misalnya kampanye gaya hidup sehat untuk mencegah penyakit diabetes.
Tingkat dan bentuk intervensi keperawatan komunitas
a. Tingkat pencegahan intervensi keperawatan meliputi:
- Prevensi primer ditujukan bagi orang-orang yang termasuk kelompok risiko tinggi, yakni mereka yang belum menderita tetapi berpotensi untuk menderita DM. Perawat komunitas harus mengenalkan faktor-faktor yang berpengaruh terhadap timbulnya DM dan upaya yang perlu dilakukan untuk menghilangkan faktor-faktor tersebut. Sejak masa prasekolah hendaknya telah ditanamkan pengertian tentang pentingnya latihan jasmani teratur, pola dan jenis makanan yang sehat, menjaga badan agar tidak terlalu gemuk, dan risiko merokok bagi kesehatan.
- Prevensi sekunder bertujuan untuk mencegah atau menghambat timbulnya penyulit dengan tindakan deteksi dini dan memberikan intervensi keperawatan sejak awal penyakit. Dalam mengelola lansia diabetisi, sejak awal sudah harus diwaspadai dan sedapat mungkin dicegah kemungkinan terjadinya penyulit menahun. Penyuluhan mengenai DM dan pengelolaannya secara mandiri memegang peran penting untuk meningkatkan kepatuhan pasien. Sistem rujukan yang baik akan sangat mendukung pelayanan kesehatan primer yang merupakan ujung tombak pengelolaan DM.
- Prevensi tersier. Apabila sudah muncul penyulit menahun DM, maka perawat komunitas harus berusaha mencegah terjadinya kecacatan/komplikasi lebih lanjut dan merehabilitasi pasien sedini mungkin, sebelum kecacatan tersebut menetap. Pendidikan kesehatan bertujuan untuk melindungi upaya rekonstitusi lansia diabetisi, yaitu: mendorong lansia untuk patuh mengikuti program PKPDM, pendidikan kesehatan kepada lansia dan keluarga untuk mencegah hipoglikemi terulang dan melihara stabilitas klien (Allender & Spradley, 2005).
b. Bentuk intervensi keperawatan yang dapat dilakukan oleh perawat komunitas terdiri dari:
- Observasi. Observasi diperlukan dalam pelaksanaan keperawatan lansia diabetisi. Observasi dilakukan sejak pengkajian awal dilakukan dan merupakan proses yang terus menerus selama melakukan kunjungan (Hitchcock, Schubert & Thomas, 1999). Lingkungan lansia diabetisi yang perlu diobservasi yaitu keadaan lansia diabetisi, kondisi rumah, interaksi antar keluarga, tetangga dan komunitas. Observasi diperlukan untuk menyusun dan mengidentifikasi permasalahan yang terjadi pada lansia diabetisi.
- Terapi modalitas. Terapi modalitas adalah suatu sarana penyembuhan yang diterapkan pada lansia diabetisi dengan tanpa disadari dapat menimbulkan respons tubuh berupa energi sehingga mendapatkan efek penyembuhan (Starkey, 2004). Terapi modalitas yang diterapkan pada lansia diabetisi, yaitu: manajemen nyeri, perawatan gangren, perawatan luka baru, perawatan luka kronis, latihan peregangan, range of motion, dan terapi hiperbarik.
- Terapi komplementer (complementary and alternative medicine/CAM). Terapi komplementer adalah penyembuhan alternatif untuk melengkapi atau memperkuat pengobatan konvensional maupun biomedis (Cushman & Hoffman, 2004; Xu, 2004) agar bisa mempercepat proses penyembuhan. Pengobatan konvensional (kedokteran) lebih mengutamakan penanganan gejala penyakit, sedangkan pengobatan alami (komplementer) menangani penyebab penyakit serta memacu tubuh sendiri untuk menyembuhkan penyakit yang diderita (Sustrani, Alam & Hadibroto, 2005).
- Pengobatan alternative : Terapi herbal, akupunktur, pengobatan herbal Cina
- Intervensi tubuh dan pikiran : Meditasi, hipnosis, terapi perilaku, relaksasi Benson, relaksasi progresif, guided imagery, pengobatan mental dan spiritual
- Terapi bersumber bahan organik : Terapi diet DM, terapi jus, pengobatan orthomolekuler (terapi megavitamin), bee pollen, terapi lintah, terapi larva
- Terapi pijat, terapi gerakan somatis, dan fungsi kerja tubuh : Pijat refleksi, akupresur, perawatan kaki, latihan kaki, senam
- Terapi energi : Qigong, reiki, terapi sentuh, latihan seni pernafasan tenaga dalam, Tai Chi
- Bioelektromagnetik : Terapi magnet
Peran dan Fungsi Perawat Komunitas
Perawat komunitas memiliki peran dan fungsi (Hitchcock, Schubert & Thomas, 1999; Alllender & Spradley, 2005), sebagai berikut :
- Advokat. Advokasi pada lansia diabetisi bertujuan untuk membantu lansia agar dapat mengelola DM secara mandiri. Peran advokasi, yaitu: selaku penasehat bagi individu, keluarga dan kelompok lansia diabetisi, memberikan informasi mengenai layanan kesehatan bagi diabetisi, dan mengupayakan sistem pelayanan kesehatan yang responsif terhadap kebutuhan lansia diabetisi.
- Kolaborator. Perawat komunitas bekerjasama dengan berbagai profesi kesehatan (dokter, ahli gizi, fisioterapis, dokter gigi), organisasi yang berada di komunitas (TP-PKK, posbindu, LLI, Perkumpulan Diabetisi, atau Klub Jantung Sehat Yayasan Jantung Indonesia), sekolah, dan pemerintah (Dinas Kesehatan, Dinas Sosial).
- Konsultan. Perawat komunitas berlaku sebagai konsultan bagi individu, keluarga, dan kelompok lansia diabetisi.
- Pelaksana. Perawat komunitas juga memberikan intervensi keperawatan langsung kepada lansia diabetisi sebagai individu, keluarga, kelompok dan populasi.
- Konselor. Perawat komunitas melakukan konseling untuk membantu lansia diabetisi dalam memilih penyelesaian masalah yang sedang dihadapi.
- Pendidik. Perawat komunitas memberikan pendidikan kesehatan baik pada tingkat prevensi primer, sekunder maupun tersier agar lansia diabetisi dapat mengelola DM secara mandiri.
- Peneliti. Perawat komunitas berperan sebagai peneliti. Riset keperawatan dilakukan untuk memperkuat dasar-dasar keilmuan dalam kegiatan praktik klinik, pendidikan, dan menejemen keperawatan pada agregat lansia diabetisi (Ross, Mackenzie, & Smith, 2003). Sedangkan praktik keperawatan yang berdasarkan fakta empiris (evidence based nursing) bertujuan untuk memberikan cara menurut fakta terbaik dari riset yang diaplikasikan secara hati-hati dan bijaksana dalam tindakan preventif, pendeteksian, maupun asuhan keperawatan bagi agregat lansia diabetisi (Cullum, 2001). Penerapan hasil penelitian dalam intervensi keperawatan komunitas pada agregat lansia diabetisi bermanfaat untuk memperbaiki pelayanan kesehatan yang berorientasi pada efektifitas pembiayaan (cost effectiveness).
- Case manager. Perawat komunitas dalam mengelola program PKPDM menggunakan pendekatan manajemen kasus. Perawat komunitas melaksanakan lima tahapan dalam pengambilan keputusan, yaitu: pengkajian, perencanaan, mengadakan kerjasama (merujuk, koordinasi dan advokasi), memonitoring dan melakukan evaluasi.
Baca selengkapnya...